#e39608 Tentang Kepergian Bapak 24 Tahun Lalu - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

Tentang Kepergian Bapak 24 Tahun Lalu

 


 November 2002. Saat itu Ramadan ganjil. Dua puluh tiga tahun silam. Di masa itu, aku dan kesembilan saudara terisak di kamar ruang inap Paviliun Keumala, Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA), Banda Aceh. Kami berkumpul dengan kesiapan sempurna. Kesiapan perginya Bapak di malam hujan itu.

 ***

 Koridor panjang RSUZA seakan membentuk labirin waktu. Lorong panjang ini tak lagi asing bagiku yang kerap bolak-balik ke rumah sakit terbesar di Aceh ini. Entah sudah berulang kali aku menyinggahinya. Sakit Bapak telah parah berbilang tahun lamanya; jantung, darah tinggi, kompilasi penyakit orang tua, hingga stroke yang membuat tubuhnya sulit bergerak. Bapak berulang kali dirawat inap di RSUZA. Melintasi koridor RSUZA seakan membuka pilu-pilu kesedihan saat Bapak di rawat. Dan malam itu, kali kesekian ia diopname.

Ini jauh lebih riskan. Menjelang Maghrib Bapak koma. Detak jantungnya melemah. Sesaat tersadar dan kembali tenggelam tanpa sadar. Kami mengasihi Bapak kala itu. Bergantian menjaganya. Aku bersyukur, mungkin ini jalan Allah yang menyatukan kami dalam sepuluh saudara kandung. Setidaknya kami bisa membagi waktu menunggu Bapak di RSUZA.

Bapak lahir di tahun 1942. Ia hanya pegawai biasa. Aku mengenalnya sebagai orang tua yang loyal terhadap anak-anaknya. Ia tahu cara terbaik membahagiakan kami dan membuat tersenyum kesenangan. Ia adalah teman terbaik dalam perjalanan.

Dulu, ketika aku kecil. Aku lebih memilih Bapak ketimbang Ibu untuk pergi jalan-jalan ke Pasar Aceh. Bapak tak banyak aturan. Itu kutafsir dari pandangan kecilku. Ia akan loyal dengan permintaanku; gulali warna-warni, cemilan berbagai rasa, es krim, cokelat, atau minuman segar. Dan ia memenuhi semua permintaan itu jika kantong sakunya berlebihan.

Bapak juga yang mengajariku mencintai buku. Ia tak pernah memaksa kami membaca buku. Ia memberi contoh di rumah. Kegilaan membacanya membuat buku memenuhi lemari-lemari rumah. Sesekali sepulang dari kantor ia membawa buku cerita untuk kami anak-anaknya. Dengan buku ia sedikit cerewet. Tak bisa membuat kami bebas. Peraturannya ketat; buku tak boleh sobek, tak boleh dilipat, tak boleh berserakan selepas membaca, harus diletakkan dengan baik di dalam lemari.

Aku kecil memahami itu sebagai kejengkelan. Namun kini aku mengerti, saat koleksi bukuku diobrak-abrik keponakan atau hilang tak juntrungan, aku merasa seperti Bapak di masa lalu. Cerewet.

Bapak adalah lelaki sempurna di rumah kami. Ia bekerja. Namun tak mengurung ia membantu Ibu di rumah. Bapak tak segan turun ke pasar. Membeli segala kebutuhan rumah. Keluar masuk Pasar Peunayong dan Pasar Aceh. Berbelanja segala kebutuhan rumah bagi kesepuluh anaknya. Bahkan suatu ketika, ia pulang dengan baju lembab beraroma amis. Ketika Ibu tanya kenapa, “Tadi tersiram air rendaman ikan di pasar,” jawabnya.

Hingga suatu ketika di penghujung tahun 1999, Bapak terserang stroke ringan. Saat itu ia baru saja pulang mengambil gaji pensiunnya. Tiba-tiba saja tubuh kirinya kesulitan bergerak. Kaku. Tubuhnya lunglai seketika. Kami yang saat itu tak mengerti apa-apa berkumpul di rumah. Menyaksikan Bapak yang tiba-tiba tergeletak tak berdaya dalam hitungan jam. Segera kami membopongnya ke RSUZA yang lokasinya berdekatan dengan rumah.

Ia tak ingin kalah dengan stroke yang menyerangnya tiba-tiba. Selama di bangsal ruang inap, Bapak menggenggam hingga lumat buah jeruk purut yang bertekstur kasar. Melatih kembali kepekaan jari tangannya yang kaku. Sepanjang pagi, ia mengangkat kakinya pelan-pelan. Melatih lututnya yang sempat tertahan. Saat itu aku melihat Bapak sebagai sosok yang ingin menang.

Ia berhasil melawan stroke pertamanya. Dokter saraf RSUZA yang menangani menaruh bangga dengan upaya dilakukan Bapak. Ia kerap membagikan kisah ketekunan Bapak ke pasien-pasien lain. Setiap kali usai memeriksa Bapak, ia selalu mengacungkan jempol tanda kagum. Hal sederhana yang dilakukan dokter RSUZA yang membuat Bapak semakin bergerak untuk sembuh.

 Untuk kali ini, stroke kecil itu berhasil dikalahkan Bapak. Ia kembali bergerak dan hanya butuh terapi. Setiap Minggu kami bergantian mengantar Bapak ke ruang fisioterapi RSUZA. Menumpang becak. Melihat ia tertatih-tatih berjalan selayak balita. Memainkan jemarinya dengan bandul kecil hingga mampu menggenggam kembali.

Aku pernah mendengar, jika seseorang terserang stroke dan sedikit merasa pulih, lambat laun penyakit itu kembali datang dengan frekuensi lebih tinggi. Aku tak begitu paham. Namun, melihat Bapak aku mengiyakan pernyataan itu.

 *** 



Februari tahun 2000, stroke kembali datang menyergap Bapak. Kali ini stroke menyerang kerongkongannya. Lendir penuh memenuhi kerongkongan hingga ia sulit berujar. Untuk minum makan, itu sangat menyiksa. Air seakan tak tertampung dan tak menebas rasa hausnya. Mengunyah makanan pun ia kesulitan. Bahkan pernah selang panjang dimasukkan dari celah hidungnya sebagai pengganti saluran makanan. Dari sana nasi halus dan minuman disuntik perlahan-perlahan. Bapak terlalu tangguh dengan deritanya. Tak sekalipun ia mengeluh.

Kondisi ini membuat Bapak terus melemah. Tubuh besar jangkungnya beringsut perlahan-lahan. Bobotnya turun drastis. Gerakannya juga semakin melambat. Sesekali lendir kental mengucur dari mulutnya tanpa ia sadari. Bapak semakin parah.

Segala upaya terus dilakukan. Dari tradisional hingga menyedot lendir dengan bantuan medis. Tapi itu hanya mampu bertahan sejenak. Lendir-lendir kembali memenuhi kerongkongan Bapak. Di saat itu, mendengar suara Bapak adalah kelangkaan bagi kami. Bapak sering bertepuk-tepuk tangan tanda memanggil anak-anaknya. Menggerak-gerakkan tangan jika ia kehausan dan memberi isyarat jika ia menginginkan sesuatu.

Sesekali ia menangis. Tangisnya semakin deras jika selepas salat.

Ibu memilih vakum sejenak dari pekerjaannya. Ia menyerahkan waktu hidupnya merawat Bapak. Dan Bapak semakin tak berdaya. Segala kebutuhan hajatnya harus ditopang oleh kami. Bergiliran kami memandikannya setiap pagi dan sore hari. Menuntaskan segala kebutuhan pribadinya.

Aku ditunjuk Ibu untuk menemani tidur Bapak. Di kamar depan, aku tidur bersama Bapak dan Ibu. Keputusan ini diambil jika hal terburuk terjadi di malam hari. Dan aku menjadi perantara membangunkan orang-orang rumah. Kejadian seperti ini sering terjadi di tengah malam. Bapak yang tiba-tiba drop, Bapak yang membutuhkan air hangat, atau gempa yang datang tiba-tiba.

Bapak tak pernah mengeluh. Itu yang kami rasakan.  Ia jarang mengeluh dengan apa yang ia alami. Dia penyabar dalam sakitnya. Hal baik yang terus kami ingat hingga kini.

Dan suatu pagi, ketidaksempurnaan ini semakin lengkap bagi Bapak. Di saat kami sibuk dengan aktivitas pagi, Bapak perlahan bangun dari kursinya. Saat itu, lututnya tak lagi kuat. Tak ada yang memapahnya pagi itu. Tak ada penyangga yang menopang tubuhnya. Semenit kemudian, di saat kakinya menapak dua langkah, tubuhnya sempoyongan.

Dan …

BRUKK!!!

Bapak ambruk! Terjerembab.

Lebam besar menganga di pahanya pertanda dentuman tubuh yang begitu kuat. Sendi lututnya bergeser. Bergegas kami kembali membawanya ke RSUZA. Kak Mar, perawat RSUZA yang juga tetangga dekat, membantu cekatan. Ia membantu segala proses perawatan Bapak. Setelah ambruk, Bapak tak mampu lagi berdiri terlebih untuk berjalan. Bapak meringkuk di kasur. Selamanya.

Ia menghabiskan banyak waktu di kamar. Sesekali selepas kerja, Kak Mar datang menjenguk Bapak. Ia memeriksa sekaligus memastikan kondisi Bapak tetap baik-baik saja.  Di tengah kesibukannya bekerja di RSUZA, ia selalu sigap jika dibutuhkan. Hal yang terus kami syukuri hingga kini.

 ***

 Saat itu malam ganjil. Salat tarawih beberapa jam lalu usai. Sayup-sayup masih terdengar lantunan Alquran dari corong masjid. Kembali aku melintasi koridor RSUZA. Rawat inap Bapak kali ini lebih parah. Bapak kembali drop. Semenjak ia meringkuk di kasur berbilang tahun, kondisinya semakin parah.

Nafasnya tersengal-sengal sejak siang tadi. Sesekali kelopak matanya bergerak-gerak seakan ingin memastikan siapa saja yang berada di sekitarnya. Tubuhnya semakin ringkih. Hidungnya sedikit lancip tak biasanya. Hal yang terus aku syukuri hingga kini adalah, aku sempat menuntunnya mengerjakan salat Asar. Membisiknya doa-doa salat di telinganya. Bapak tak pernah meninggalkan salat. Walaupun dalam keadaan sakit yang sulit.

Menjelang Maghrib, kami hanya mampu menatap Bapak dengan jantung berdetak, tetapi tubuh tak bergerak.  Kak Mar datang memeriksa selepas Maghrib. Telaten ia melihat kondisi Bapak. Selepas itu ia menarik salah satu abangku dan mengajaknya keluar. Di luar ruang inap, berdua mereka berbicara pelan. Aku mengintip dari balik pintu. Sekejap kemudian terdengar suara sesenggukan. Kak Mar mengusap-usap menguatkan. Dan aku paham, kondisi tak lagi membaik.

Bapak koma.

 ***

 Di luar hujan meronta-ronta.

Menjelang pukul dua dini hari. Aku melihat Bapak dalam kondisi terberat. Ia tersadar dari koma dengan napas semakin tak beraturan. Di luar angin hujan semakin menggila, seakan tahu ada duka malam itu.

Di ruang inap Paviliun Keumala RSUZA, kesepuluh anaknya berkumpul. Masing-masing dengan tangis mendalam. Aku sadar, beginilah rupanya melepas seseorang yang dicintai. Bapak melemah. Dalam isyarat ia bertanya, “Ibu dimana??”

Ibu mendekat dan berdiri di sudut bangsal. Bergiliran kami membisik kalimat tauhid di telinga Bapak. Bergantian dengan isak. Mulut Bapak bergerak, kurasa ia mengikuti bisikan kami. Tak tahu rasa apa malam itu. Serasa ganjil. Ibu menguatkan kami anak-anaknya. Kakakku, sebagian pingsan.

Hujan di luar mereda. Tepat pukul 01:30 WIB Bapak menutup mata dengan tenang. Di saat napas terakhir, ia sempat berpaling melihat anak-anaknya sesenggukan. Air matanya keluar. Hingga matanya menutup rapat, airmata itu masih ada.

Untuk kali pertamanya aku menumpang mobil jenazah membawa pulang Bapak. Untuk pertamakalinya, aku menggenggam tubuh kaku Bapak memandikannya di ruang belakang. Dan untuk terakhirkalinya, aku mencium Bapak di sudut-sudut wajahnya sebelum dikafankan.  Ibu menguatkan, “Kajeut bek moe lee, cukup jangan nangis lagi.”

 ***

 

Bapak telah pergi sejak 24 tahun silam. Namun hingga kini, setiap melintasi koridor RSUZA, suasana malam pekat itu selalu terlintas. Malam pekat saat aku turut mendorong jenazah Bapak menuju ambulance. Koridor panjang itu seakan menjadi labirin waktu yang terus mengingatkan perjuangan Bapak melawan sakitnya. Koridor RSUZA itu bukan sebatas lintasan, ia telah mengajarkan dan mengingatku bagaimana jalan panjang Bapak melawan sakit dan berusaha untuk terus bangkit. []

About Ferhat Muchtar

Ferhat Muchtar
Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker. Teller Sampai Teler.
Suka makan kuaci. Tukang koleksi buku.
email: ferhattferhat@gmail.com
Tulisan yang mungkin kamu suka × +

0 komentar:

Posting Komentar