Banda Aceh terus berbenah. Bersalin
rupa dengan bangunan menjulang adalah penanda bergeliatnya pembangunan. Namun
ini tidak berlaku bagi para pengrajin beulangong
(belanga) di Desa Ateuk Jawo, Banda Aceh. Nestapa terasa merongrong pelan-pelan
keberlangsungan usaha yang mereka lakoni sejak berpuluh tahun lalu. Setelah
sepetak tanah leluhur tercemar limbah, mereka pun dihadapkan kesulitan mencari
bahan baku; tanah liat.
Keluh kesah ini saya dengar dari
Nuriah, seorang pengrajin, yang saya temui penghujung April lalu di rumahnya.
Ia telah melakoni usaha ini sejak muda, bahkan usaha ini telah berlangsung turun
temurun dari leluhurnya. Saat ini ia merasa lingkungan tidak lagi bersahabat.
Hal ini dimulai setelah tsunami berlalu. Tanah luas di Desa Ateuk Jawo yang
dulunya adalah sumber bahan baku usahanya, kini berubah menjadi barisan
perumahan, pertokoan dan usaha lainnya.
“Setelah tsunami kami kesulitan
mencari bahan baku. Tanah di sini semuanya dibangun perumahan. Makanya makin
sedikit yang mau buat beulangong,”
keluhnya.
Desa Ateuk Jawo sejak dulu
dikenal sebagai salah satu daerah pengrajin beulangong
di Banda Aceh. Desa di kecamatan Baiturrahman ini menghasilkan beulangong dengan kualitas baik jika
dibandingkan daerah lainnya di Aceh. Keunggulan ini juga diakui Nuriah, “banyak
orang yang ambil beulangong di sini,
katanya lebih bagus dan kuat. Bisa jadi karena tanah di sini lebih bagus.”
Seorang pengrajin sedang membuat beulangong |
Proses pembuatan beulangong terbilang cukup panjang.
Tanah terlebih dulu dicampur pasir dalam takaran seimbang, lalu diinjak-injak
hingga keduanya lumat dan siap dibentuk. Tahap selanjutnya, beulangong dijemur hingga kering lalu
diwarnai dengan tanah kawie dan
digosok dengan batu bulie hingga
licin. Beulangong yang telah jadi
lantas dibakar dalam tumpukan jerami hingga siap dipakai. Proses panjang ini
ternyata dihargai murah, tidak sesuai dengan pengerjaannya yang lama. Untuk beulangong ukuran sedang misalnya,
dihargai hanya Rp 12.500 per buahnya.
Geliat usaha ini semakin menurun.
Nuriah sadar, usaha turun temurun ini lambat laun akan hilang sebab kurangnya
pengrajin dan sulitnya bahan baku. Bahkan saat ini tercatat, di Desa Ateuk Jawo
hanya tersisa lima pengrajin beulangong yang
semuanya perempuan berusia lanjut. Padahal dulunya, produksi beulangong berkembang pesat di beberapa
desa seperti Ateuk Munjeng, Penyeurat, hingga Neusu. Namun miris, ketersediaan
tanah dan perubahan lingkungan masyarakat membuat usaha tradisional ini pelan-pelan
meredup. Nyatanya hingga kini, hanya Desa Ateuk Jawo yang masih bertahan.
“Kami kesulitan cari tanah
sekarang, semuanya berubah jadi perumahan. Dulu cari tanah paling gampang, tapi
sekarang kami harus cari dimana orang gali pondasi di situ kami ambil tanah.
Sering juga tanah yang kami ambil, kami simpan sampai berbulan-bulan untuk stock,” ujar Nuriah.
Usaha pembuatan beulangong telah berlangsung lama di Ateuk Jawo |
Saya bersama beberapa pengrajin beulangong di Desa Ateuk Jawo |
Lingkungan sekitar seakan tidak
lagi bersahabat dengan usaha turun temurun ini. Berulangkali masalah ini
dilaporkan ke Pemerintah Kota. Namun nyatanya tidak ada solusi hingga sekarang.
“Dulu Walikota janji kasih
sepetak tanah untuk kami jadi sumber tanah liat. Tapi sampai sekarang tidak ada
tanah itu.”
Bagi Nuriah dan pengrajin
lainnya, sepetak tanah mampu menjadi penyambung kelangsungan usaha yang telah
dilakoni lintas generasi ini. Sebab dulunya, mereka memiliki sepetak tanah yang
dijadikan sumber tanah liat sebagai modal pembuatan beulangong. Tanah ini digunakan turun temurun hingga berpuluh-puluh
tahun lamanya.
“Kami punya sepetak tanah punya
orangtua dulu. Dari sana dulunya kami ambil tanah liat berulang-ulang sampai
berlubang dalam sekali. Tapi sekarang, orang-orang malah buang limbah ke sana.
Jadi tanahnya tergenang air nggak bisa dipakai lagi. Nggak taulah mau buat
gimana lagi...”
Hal serupa juga diakui Mak Ti,
seorang pengrajin yang saya temui di rumah berbeda. Mak Ti masih memiliki tali
persaudaraan dengan Nuriah. Di rumahnya yang sederhana, Mak Ti melakoni usaha
serupa dalam usianya yang mendekati 80 tahun.
“Sekarang susah sekali cari tanah
untuk bikin beulangong, nggak kayak
dulu...” keluhnya.
Mak Ti lalu mengajak saya ke
belakang rumahnya. Ia ingin memperlihatkan proses pembakaran beulangong sekaligus menunjukkan
lokasinya. Saya mengikutinya dari belakang, melintasi kandang ayam dan bebek
serta melompati parit kecil. Sebuah tanah lapang terbentang dikelilingi rindang
pohon nipah. Beberapa bilah kayu bakar tersusun rapi di sudut-sudut pohon. Di
bagian lain, jerami terbungkus rapi di dalam karung. Di tengah tanah lapang
inilah Nuriah, Mak Ti dan tiga pengrajin lainnya membakar beulangong.
“Ini tanah orang. Saya tidak tahu
harus buat apa lagi kalau tiba-tiba tanah ini dibangun ruko atau perumahan
juga. Saya dengan kawan-kawan nggak tahu harus bakar beulangong dimana lagi.” keluh Mak Ti yang berharap memiliki mesin
khusus untuk membakar beulangong.
Beulangong yang siap dibakar |
Tanah ini seakan menjadi saksi
bagaimana semangat sekelompok perempuan berusia lanjut meneruskan usaha
tradisional beulangong. Tanah adalah
permasalahan besar bagi para pengrajin ini. Tidak ada tanah berarti tidak ada
kelanjutan usaha. Dan Nuriah yakin, jika ini terus berlangsung, maka usaha ini
perlahan akan hilang. Setidaknya tiga desa telah membuktikan itu: Neusu, Penyeurat,
dan Ateuk Munjeng yang dulunya dikenal sebagai sentral usaha beulangong dan tembikar kini tidak lagi
berproduksi.
Semangat para perempuan beulangong mempertahankan warisan
leluhur Aceh digempur dengan beragam persoalan. Bukan hanya minimnya pelakon
yang ingin meneruskan produk lokal ini, tapi juga keterbatasan lahan sebagai
sumber utama usaha beulangong. Kesulitan
memperoleh tanah di tengah modernisasi Banda Aceh menjadi racun tersendiri bagi
usaha yang digeluti kaum janda ini. Semangat sekelompok perempuan tua
mempertahankan Desa Ateuk Jawo sebagai sentral produksi beulangong, seakan tidak diiringi keberpihakan lingkungan kepada
mereka. Sudah semestinya, Pemerintah menyediakan lahan baru bagi mereka sebagai
sumber tanah liat. Atau setidaknya, merevitalisasi kembali sepetak tanah
warisan leluhur mereka yang kini telah bercampur limbah.
***
***
sampai foto-fotoan sama ibu-ibu, keren :D
BalasHapusMaaf kalau boleh taub,di ateuk jawo dimananya admin ferhat muchtar?
BalasHapus