Jalan Tuhan terkadang
sulit dimengerti. Apa yang diharapkan tak selalu terpenuhi. Namun, di satu sisi,
ada jalan lain yang terbuka, lebih mudah tanpa diduga. Hal inilah yang dialami
oleh lima mahasiswa ini. Merasa salah jurusan, terjebak dalam ilmu tak terduga
ternyata menjadi kekuatan mereka untuk bergerak dan bersatu. Itulah yang kini
mereka lakoni. Kreativitas yang awalnya berdiri sendiri kini berlabuh dalam
label yang sama, Aidu Studio.
Adalah Aditya Fitrianto,
Fadhli Maulana, Lina Marlina, T. M. Marthunis, dan Muhammad Yussuf, lima
mahasiswa Fakultas Teknik Elektro di salah satu universitas terbesar di Aceh,
yang berani menjadikan hobi sebagai tempat mengumpulkan pundi. Awalnya
kegagalan masuk Jurusan Desain Grafis mengharuskan mereka memutar ide agar
tetap menjalankan passion yang telah
dibangun.
“Kami semuanya suka desain
grafis. Tapi sayang, di Aceh belum ada jurusan itu di universitas mana pun,” ujar
Adit—panggilan Aditya Fitrianto—yang akhirnya mengumpulkan beberapa temannya
untuk sama-sama kembali menghidupkan passion
yang telah dibina sejak duduk di bangku SMA.
Adit mengaku, awalnya ia
bergerak sendiri. Namun, seiring bertambah banyaknya pesanan produk dari
konsumen, ia harus membentuk tim kecil agar mampu menjalaninya. Maka, ia pun
menggandeng keempat teman kampusnya hingga terbentuk Aidu Studio pada 10 Maret
2015.
Nama Aidu pun memiliki makna tersendiri. Adit
yang saat ini menjabat sebagai chief executive
menceritakan bagaimana Aidu menginspirasi perjalanan usaha mereka.
“Aidu itu artinya ‘lima’ dalam bahasa salah satu suku di India.
Selain itu, pengucapannya ‘ai du’ (I do),
bisa juga dimaknai ‘saya lakukan’.
Jadi, kurang lebih, ‘bersama Aidu kami berlima bisa melakukan semua permintaan
konsumen dengan kondisi apa pun’,” terangnya.
|
Masing-masing personel
Aidu Studio memiliki keterampilan tersendiri yang menjadi kekuatan mereka.
Aditya Fitrianto cenderung tertarik pada dunia ilustrasi dan desain gambar.
Dari tangannya lahir banyak produk ilustrasi seperti sketsa, scrapbook, atau photoscap. Fadhli Maulana ahli di bidang videomaker, Lina Marlina lebih mampu di bidang kreativitas tangan
seperti baju fanel, rajut, gelang suvenir, juga sketsa wajah. Sedangkan T. M.
Marthunis dan Muhammad Yussuf ahli di bidang animasi dan graphic design.
“Jadi, kita di sini
saling melengkapi. Jika ada order dari konsumen, kita tinggal plot-kan ke anggota yang ahli,” ujar
Adit yang mengaku pernah mendapat pesanan paket lengkap dari sebuah lembaga
bimbingan belajar di Banda Aceh.
“Mereka minta kita
desain semua produk dari brosur, baju, video animasi, website, hingga membentuk branding
lembaganya.”
Selama menjalankan usaha,
Aidu Studio juga mengalami beragam kendala. Namun, ini bukan penghalang bagi
mereka untuk serius menggarap apa yang telah dibangun selama ini. Perubahan
serta ide segar selalu mereka gali mengikuti perkembangan tren saat ini.
Termasuk juga menerapkan strategi marketing
yang baik sekaligus membuka jaringan yang lebih luas.
“Kami aktif di media
sosial, terutama di Instagram untuk memamerkan produk kami,” akunya.
Manfaat menggunakan
media sosial pun dirasakan sangat besar. Setidaknya, setiap bulan Aidu Studio menerima
minimal sepuluh pesanan dari berbagai kota di Aceh, bahkan hingga ke Sumatra
Utara.
“Bagi kami, bergerak di
Aidu Studio bukan lagi sekadar hobi, tapi sudah menjadi bagian dari pekerjaan.”
Menjadikan ini sebagai
pekerjaan, fokus penggarapan pun menjadi tugas utama bagi mereka. Hal ini
diwujudkan dengan selalu melakukan pembahasan serta evaluasi penjualan dan
produk yang rutin dilakukan setiap bulannya di tanggal 10.
“Kita sengaja mengambil
tanggal 10 biar sesuai dengan tanggal berdiri Aidu Studio,” Adit beralasan.
Usaha yang telah
berjalan beberapa bulan ini pun semakin digarap serius. Saat ini Aidu Studio
bekerja sama dengan banyak mitra untuk mendukung usaha mereka. Dukungan yang
sama juga mereka peroleh dari orang-orang sekitar, baik keluarga maupun dosen. Akan
tetapi, Adit tak menampik, masih banyak penghalang yang mereka alami di
lapangan.
“Terutama bahan baku. Di
Banda Aceh susah sekali cari bahan baku,” kata Adit yang pernah harus keliling
Banda Aceh seharian hanya untuk mencari plastik mika. Selain itu, biaya cetak
diakuinya juga terbilang mahal.
“Kita terkadang kepingin
cetak di luar Banda Aceh, tapi ongkos kirim kemari terlalu mahal,” paparnya.
Namun, Adit punya tips
bagaimana menjadikan Aidu Studio agar sukses dan tetap dilirik para pelanggan.
Menurutnya, kunci utama adalah jangan terlalu mengambil banyak keuntungan agar
proses produksinya terus berputar, dan tentu saja menjaga kualitas.
“Berjualan itu harus
stabil. Kalau produknya bagus, pasti pelanggan datang lagi. Kalau nggak bagus akan
ditinggalin. Sama kayak jual makanan,” ucapnya.
Saat ini, di matanya,
dunia kreatif di Banda Aceh semakin semarak. Banyak muncul talent baru dengan beragam kreasi. Adit pun berharap potensi ini
mampu digarap sebaik mungkin, sekurang-kurangnya ada wadah yang memfasilitasi
kreativitas ini.
“Mungkin mahasiswa sudah
harus diputar mindset-nya. Bekerja
dengan orang boleh dan baik, tapi apa nggak lebih baik kita jadi salah satu
yang menyediakan lapangan pekerjaan?” tanyanya. ***
Mantap ni adek-adek generasi Kreatif Aceh
BalasHapusSukses Aidu Studio :)
BalasHapus