Bagi saya, Sabang
adalah tempat menenangkan dan mendamaikan. Ia serupa senyum Tuhan yang
tertinggal di tengah Samudera Hindia dengan segala keindahannya. Saya ingat,
pertama kali menginjakkan kaki ke kota ini pada awal tahun 2007. Saat itu,
geliat wisata belum begitu bergaung seperti sekarang. Menumpangi feri dari
pelabuhan darurat di samping masjid Baiturrahim, Ulee Lheue, saya tak banyak
menjumpai turis asing ataupun wisatawan lokal. Kapal juga tak begitu padat. Jauh
dari keramaian, baik di Ulee Lheue maupun di Sabang saat saya tiba.
Saya menganggap
kota Sabang terlalu sepi dan nyaris seperti kota mati. Kedatangan pertama kali
ini membuat saya heran serta kebingungan. Terlebih saat siang hari, kota ini
nyaris seperti kota mati. Banyak pertokoan tutup dan menghentikan aktivitasnya.
Saya yang datang dari Banda Aceh tanpa membawa sepeda motor menjadi kewalahan
mencari makan siang. Terlebih lagi kota ini tidak ada angkutan umum yang lalu
lalang di sepanjang jalan. Alhasil, saya pun harus berjalan kaki dari Masjid Raya
ke Kota Bawah untuk mencari warung nasi. Hasilnya? Tidak ketemu! Akhirnya, saya
hanya mengganjal lapar dengan mie instan. Kembali ke daratan saya
berkesimpulan, Sabang tidak terlalu menarik. Biasa aja!
Itu cerita kali
pertama saya berkunjung ke Sabang, nyaris sepuluh tahun lalu saat informasi
belum bergeliat dan masyarakat belum sadar wisata. Tapi tak dinyana, tujuh
tahun kemudian, tepat tahun 2014 saya kembali datang ke pulau ini. Pelatihan
kantor mengharuskan saya mengikuti training hingga beberapa hari ke depan.
Sempat berpikir, akan menginap dimana? Sebab bayangan saya, Sabang belum
memiliki penginapan yang memadai untuk tempat pelatihan.
Pelabuhan Balohan terlihat dari atas. View ini salah satu wisata Aceh yang ramai dikunjungi |
Rupanya pikiran
saya berubah saat menjejakkan kaki kembali ke kota ini. Sabang jauh lebih maju
dan terlihat lebih siap sebagai daerah wisata. Saya kaget saat sopir pelabuhan
mengantarkan saya ke penginapan di atas bukit dengan view indah lautan lepas. Penginapan ini bagi saya terbilang bagus
untuk seukuran pulau kecil.
“Penginapan di
Sabang sudah banyak Bang, bagus-bagus.” ujar sopir sambil menyebutkan beberapa
tempat penginapan di Sabang.
Saya
mengangguk-angguk sambil searching di
internet. Ternyata benar, Sabang semakin bergeliat. Penginapan tumbuh cepat dengan
view pantai sebagai andalannya. Sabang
semakin sadar bahwa denyut nadi kehidupannya ada di dunia pariwisata. Kota ini terasa
lebih berdenyut dengan icon-icon baru
sebagai tujuan wisata. Kota jauh tertata lebih apik, penginapan tumbuh menjamur,
banyak lokasi wisata terbaru, ada penerbangan langsung dari Medan, dan yang
paling terasa saat saya berkunjung ke Iboih, di sana wisatawan begitu ramai dan
padatnya.
Di sini jauh dari
hiruk pikuk modernisasi; tidak ada mall, tidak ada cafe gemerlap dengan musik
menghentak, tidak ada outlet-outlet ternama di pusat kota, kehidupan tidak
terlalu bebas, masyarakat masih
menjunjung lokalitas. Sangking damainya, Sabang adalah sasaran utama saya untuk
menenangkan diri setelah resign dari
pekerjaan di bank yang ribet beberapa tahun lalu. Kesederhanaan ini yang
akhirnya membuat saya jatuh cinta pada Sabang. Kejengkelan saya saat pertama
kali datang ke Sabang beberapa tahun lalu, seakan buyar seketika.
Tanpa disadari, hingga
sekarang, saya sudah empat kali bolak-balik ke Sabang. Berkeliling menikmati
indahnya alam Sabang yang tak ada habis-habisnya. Keindahan ini seakan telah
dimulai sejak dari pelabuhan Balohan menuju pusat kota. Saya kagum melihat
bentang alam dan icon wisata baru
bermunculan di Sabang. Seperti icon I Love Sabang di jalan Simpang Elak
yang kini jadi tempat berselfie ria para wisatawan. Ternyata icon serupa juga ada di Teupi Layeun dan Nol Kilometer. Ini menurut saya cara efektif untuk mempromosikan Sabang di sosial
media.
icon I Love Sabang (sumber: toursabangaceh.blogspot.com) |
Bukan hanya di Simpang
Elak, saya merasa Sabang adalah paket lengkap tujuan wisata dengan kekuatan
masing-masing. Saya pernah merasakan teduhnya pantai Gapang dengan cottage kayu di bibir pantainya. Hal
sama juga saya rasakan di Iboih yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Gapang.
Di Iboih, saya seakan berada di aquarium raksasa. Taman lautnya begitu indah.
Ada banyak koral dan biota laut yang hidup di perairan tenang ini. Terlebih
fasilitas wisata terbilang lengkap di sini. Ada banyak penginapan, bertaburan
alat snorkling dengan harga murah, bahkan yang tidak bisa menyelam bisa menaiki
perahu kaca untuk melihat taman laut sambil mengintari Pulau Rubiah di
depannya. Bagi saya, dari sekian banyak tempat wisata di Sabang, Iboih adalah
juaranya.
pengunjung yang snorkling di Iboih |
pantai yang tenang di Sabang
|
Saya juga sempat mengunjungi benteng Jepang di Anoi Itam dengan menapaki tangga terjal. Pemandangan di benteng ini luar biasa bagi saya. Tanah landai berrumput padat berbatasan langsung dengan Samudera Hindia yang luas. Pemandangan sama juga saya dapati saat memilih menginap di Sabang Hill yang letaknya di atas bukit. Dari sana, saya bisa melihat teluk Sabang dengan jelas.
Berkeliling Sabang
menyadari saya bahwa kota kecil ini bukan sekedar menyimpan keindahan alam
semata. Ada banyak lokasi menarik yang bisa dijadikan destinasi baru di Sabang.
Saya menyadari itu, saat seorang teman di Sabang mengajak membeli oleh-oleh
khas Sabang: dodol dan bakpia, langsung dari tempat pengerjaannya. Entah
kenapa, melihat deretan pekerja membungkus dodol dan puluhan loyang penuh
bakpia terasa menarik sekali. Saya berpikir, kenapa home industri ini tidak digarap menjadi tempat wisata seperti
pembuatan rokok kretek di Kudus. Sudah selayaknya, wisata kuliner di Sabang
digalakkan sebab ada banyak kuliner lezat di kota ini.
Sejarah panjang di
Sabang juga bisa dijadikan andalan wisata baru. Pulau kecil ini dulunya menjadi
benteng pertahanan ketika perang dan menjadi lokasi persinggahan kapal jamaah
haji saat menuju ke Mekkah. Otomatis, di Sabang banyak ditemui tapal-tapal
sejarah seperti gedung tua, benteng, hingga bunker. Kalau ini digarap maksimal,
saya yakin akan banyak pilihan wisata baru. Saya teringat sewaktu berkunjung ke
Padang dan melihat bunker masa penjajahan Jepang dirawat baik dan menjadi
destinasi utama di sana. Tak salah, bunker-bunker di Sabang digarap serupa.
banyak spot menarik di Sabang untuk dijadikan lokasi foto |
Tapi apapun itu,
saya tetap menyukai Sabang dengan segala kesederhanaan dan keindahannya. Saya
masih ingin
menginjakkan
kaki lagi ke sana berkunjung ke tempat wisata baru yang belum sempat saya
kunjungi. Saya ingin berkemah di tepi danau Aneuk Laot, merasakan dinginnya air
terjun di Desa Pria Laot, melihat langsung kawah volkano di Jaboi, merasa sensasi mandi air panas di Jaboi,
makan berpiring-piring mie sedap, hingga mengunjungi Museum Abad Kejayaan
Sabang. Ada banyak destinasi wisata yang membuat saya rindu Sabang
sejadi-jadinya. ***
tulisan ini diikut sertakan dalam lomba blog Sabang Marine Festival 2016
0 komentar:
Posting Komentar