Ada seperti ini di daerah kalian? Di kampung kalian? Di
kota kalian?
Di tempat saya ada!
Selesai shalat Jumat, saya mendapat kabar
tentang ditebasnya pohon sejarah: pohon kohler. Pohon yang tumbuh di pekarangan Mesjid Raya
Baiturahman (MRB). Dalam bahasa Aceh pohon ini disebut bak geuleumpang
(Sterculia foetida). Pohon berdaun lebar dengan rangka kokoh.
Dulu, sewaktu saya kecil, saat
berkunjung ke Mesjid Raya Baiturahman, almarhum Bapak selalu singgah di bawah pohon ini. Melepas
lelah dari berkeliling Pasar Aceh. Lain waktu, tempat ini menjadi lokasi
persinggahan setelah kenyang minum cendol di Pasar Aceh, berbelanja di swalayan
Gemini, atau membeli kue di toko Kartini.
Letaknya tepat di depan pintu masuk.
Di bawah daunnya yang rimbun, almarhum Bapak mengeja cerita kepada saya teramat
epik.
Disini, tanggal 14 April 1873, saat
perang Aceh meletus melawan Belanda, seorang jenderal besar Mayor Jenderal
Johan Harmen Rudolf Kohler mati dtembak tepat di jantungnya oleh mujahid Aceh.
Ia bersimbah darah tepat di bawah pohon ini. Pohon geulumpang.
Pohon Kohler semasa perang Belanda di Mesjid Raya Baiturrahman |
ilustrasi kematian JHR Kohler di bawah pohon geulumpang |
Begitu setidaknya almarhum Bapak
bercerita. Cerita sama yang terpatri singkat di marmer berbentuk persegi
panjang di bawah pohon. Siapapun berkunjung ke Mesjid Raya Baiturahman seakan tertarik untuk hadir
ke bawah pohon ini. Mengingat sejarah, dan menghubungkan lokasi ini dengan
Kherkhof (komplek pemakaman Belanda) tempat JHR Kohler disemayamkan akhirnya.
Bagi saya, lingkungan Mesjid Raya Baiturahman adalah paket lengkap untuk melihat sejarah singkat Aceh. Sejak duduk di bangku sekolahan, sejarah Mesjid Raya Baiturahman berputar-putar di kepala; mesjid tempat menyusun strategi, tempat rakyat Aceh berkumpul melawan penjajah, hingga masjid yang pernah dibakar.
Cerita Mesjid Raya Baiturahman terus terbawa hingga saya besar. Membawa sejarah dengan alur cerita berbeda; tentang referendum saat ribuan warga Aceh berkumpul di sini, tentang perdamaian, hingga tsunami yang menggenangi lingkungan ini. Mesjid Raya Baiturahman selalu larut terbawa lengkap dengan atribut sekitarnya. Tak terkecuali pohon geulumpang.
Ini bukan cerita tentang pohon keramat, atau pohon yang dipuja-puja. Tapi ini lebih bagaimana kita merawat sejarah. Sama halnya seperti Belanda merawat sejarah dengan menamakan pohon geulumpang ini sebagai Kohlerboom yang berarti pohon Kohler.
Bagi saya, lingkungan Mesjid Raya Baiturahman adalah paket lengkap untuk melihat sejarah singkat Aceh. Sejak duduk di bangku sekolahan, sejarah Mesjid Raya Baiturahman berputar-putar di kepala; mesjid tempat menyusun strategi, tempat rakyat Aceh berkumpul melawan penjajah, hingga masjid yang pernah dibakar.
Cerita Mesjid Raya Baiturahman terus terbawa hingga saya besar. Membawa sejarah dengan alur cerita berbeda; tentang referendum saat ribuan warga Aceh berkumpul di sini, tentang perdamaian, hingga tsunami yang menggenangi lingkungan ini. Mesjid Raya Baiturahman selalu larut terbawa lengkap dengan atribut sekitarnya. Tak terkecuali pohon geulumpang.
Saya teringat, pohon geulumpang
sempat meranggas selepas tsunami. Ia hanya tinggal cabang kerontang kering.
Saat itu saya menduga, pohon geulumpang akan tamat bersebab tanah asin kena air
laut. Dan rupanya, berselang bulan lepas itu, daun lebar kembali hadir di
pucuk-pucuknya. Pohon geulumpang kembali rimbun. Orang-orang kembali berteduh
dari terik Banda Aceh yang terbilang panas.
Dan hari ini, selepas Jumat saya
kaget menerima pohon ini ditebang habis. Alasannya, pohon geulumpang terkena proyek
perluasan MRB. Nanti di lokasi yang dulunya tumbuh pohon ini, akan
diganti dengan payung besar layaknya Masjid Nabawi. Penebangan pohon ini
melengkapi kepergian pohon-pohon besar lainnya di lingkungan MRB tempat warga
kota berteduh, termasuk di dalamnya pohon qurma yang tumbuh usai tsunami.
Padahal sehari sebelumnya, saat pagi
membaca koran berita perluasan MRB, saya masih berdecak kagum. Kagum di tengah
mega proyek tanah yang diratakan, pohon geulumpang masih berdiri kokoh di
halaman MRB. Namun kekaguman ini hilang 24 jam kemudian. Oh Tuhan!
Ini bukan cerita tentang pohon keramat, atau pohon yang dipuja-puja. Tapi ini lebih bagaimana kita merawat sejarah. Sama halnya seperti Belanda merawat sejarah dengan menamakan pohon geulumpang ini sebagai Kohlerboom yang berarti pohon Kohler.
Memang pohon geulumpang sekarang
hanya ‘duplikat. Pohon asli semasa peperangan Belanda telah meranggas dimakan usia
lalu mati perlahan. Namun di tahun 1988, Gubernur Aceh Ibrahim Hasan kembali
menanam pohon geulumpang di titik robohnya Kohler, sebagai penanda momen
bersejarah. Dan berdiri di bawah pohon ini, kita seakan diajak mengingat
bagaimana dahsyatnya pejuang Aceh dahulu bertarung di halaman masjid MRB.
pohon geulumpang di area MRB semasa perang Aceh |
Pohon geulumpang di MRB semasa kemerdekaan |
dan pohon geulumpang pun ditebang |
Gara-gara penebangan pohon ini, saya jadi
teringat ucapan seorang narsum saat saya mengikuti Jelajah Budaya 2013 silam,
“orang kita suka mengelu-elukan sejarahnya dahulu, tapi satu sisi juga suka
menghancurkan sejarahnya sendiri.”
Mungkin hari ini salah satunya
buktinya. Pohon sejarah, tempat Bapak bercerita tentang perang Aceh, tempat
orang-orang dulu merekam memori tentang kota Banda Aceh, tempat orang-orang
berkumpul saat masuk pertama kali ke MRB, tempat bukti kematian Kohler bukan
bualan semata, kini hilang diratakan.
Mungkin suatu saat, puluhan tahun
dari sekarang, saat orangtua bercerita ada Jenderal yang mati di sebuah pohon.
Mungkin anak-anaknya akan mengernyit, “emangnya ngapain si Jenderal di pohon?
Ribet amat hidupnya!”
Dan cerita Kohler pun terasa seperti
dongeng. Asing. Persis seperti dongeng Indosiar yang Raja Ratu-nya menunggangi elang
terbang. Mungkin kebingungan yang sama juga dirasakan pada suatu masa nanti,
ketika orang-orang setelah kita bertanya; “Apa itu pohon geulumpang? Bagaimana
wujudnya?”
Saya berharap Pemerintah Aceh
terketuk hatinya untuk memulihkan kesedihan masyarakat Aceh. Meminta maaf atas ‘keteledoran’
ini. Memulihkan kesedihan dengan hilangnya sejarah ini. Sama halnya Ibrahim
Hasan yang menanam kembali pohon ini di tahun 1988, saya berharap Pemerintah
Aceh kali ini juga melakukan hal serupa. Entah dengan cara dan langkah apa.
Saya hanya ingin merawat ingatan
melalui pohon geulumpang..
pohon geulumpang/pohon kohler |
Mungkin supaya ada yang akan terkenal lagi bang...kan tu pohon ditanam kembali oleh Gubernur kala itu setelah mati, kini ditebang trus ditanam lagi....supaya yang nanam ikut masuk buku sejarah...ntah ia pun.....
BalasHapushahhahahaaa.. iya juga kali ya..
Hapustapi ribet x caranya mau masuk dalam sejarah :'(
Inilah unik tempat kelahiran kita, tidak ada di orang ada di kita. Orang luar membangun dan membudidayakan sejarah. Lah Aceh? Atra yang kana dipeugadeh. #syedih
BalasHapusAtra yang kana dipeugadeh, yang ka dipeugadeh ka dipeugot lee..
Hapusnyan keuh..
saatnya berteduh di bawah payung raksasa, naik kelas dikit kita wkwk
BalasHapushttp://lintobaro.blogspot.com
nggak perlu bawa payung lagi kalau hujan. hihihi
HapusDulu sblm matahari naik,bny org tua mlgkhkan kaki ank@ untuk mngmbil keberkatan embun MRB agar si anak cpt bsa brjalan. Tapi skrg,aaaahh sdahlah,semua tggal kenangan
BalasHapus:'( :'(
Hapusiya.. kedua anak sayapun juga merasakan hal tersebut.. tapi nanti?? :)
HapusMungkin, pemerintahan ini mau terkenal. Makanya ditebang. Kan ini sudah berhasil masuk ferhatt.com. Jarang-jarang loh
BalasHapusTdk spt di luar negeri,pohon spt itu biasanya dibongkar utk ditanam kembali ditempat lain.oh indonesiaku...
BalasHapus