Selamat
Hari Guru−Ibu saya adalah guru. Ia sempat mengajar di desa
sebelum akhirnya pindah ke kota. Saya masih ingat, Ibu mengendarai sepeda motor
Honda Astrea berwarna merah. Dengan laju pelan, saban pagi Ibu menyambangi
sekolah hingga siang hari. Mengajar murid-muridnya tentang ilmu Agama; cerita
Nabi, doa sholat, hingga tentang akhlak. Sebab Ibu adalah guru agama di Sekolah
Dasar, Ibu mengenal hampir semua murid-muridnya dari kelas satu hingga kelas
enam.
Selepas
pulang, Ibu akan larut dengan kami, sepuluh anak-anaknya. Ibu tidak istirahat.
Ia akan lanjut bekerja sebagai seorang Ibu. Memasak nasi, menggoreng ikan,
hingga bertanya tentang sekolah dan PR sekolah.
Terlahir
dari keluarga berpendidikan, Ibu begitu peduli terhadap pendidikan kami,
anak-anaknya. Ibu tak sungkan-sungkan merogoh kocek berlebih untuk mengantar
kami belajar mengaji, tahsin, les sekolah, hingga les bahasa Inggris. Padahal
dengan gaji seorang guru dan kebutuhan yang banyak, kepedulian ini tentu
merumitkan kantong Ibu. Tapi Ibu tak peduli, baginya, kami harus pintar dan
menjadi seseorang. Kebiasaan itu terus berlanjut hingga sekarang. Ibu masih
menganjurkan kami untuk raih jenjang lebih tinggi. Menyuruh kami untuk
melanjutkan S2 dan berharap kami lebih fasih belajar bahasa Inggris untuk
mengejar beasiswa.
Tentang pekerjaan Ibu, saya teringat ketika malam-malam larut kami berkumpul di ruang TV atau ruang keluarga. Bersama yang lainnya, kami membantu Ibu memeriksa hasil ujian anak-anak muridnya. Biasanya kebiasaan ini rutin berlangsung tiga bulan sekali, saat ujian caturwulan. Dibantu obat nyamuk bakar, saya dan beberapa saudara kandung sibuk melubangi lembar jawaban. Mencocokkan kebenaran kunci jawaban dengan lembaran tugas murid-murid Ibu. Ada kalanya kebiasaan ini melelahkan, sebab kami memeriksa jawaban murid dari kelas satu hingga kelas enam. Dengan kacamatanya, Ibu juga memeriksa jawaban esai muridnya hingga larut malam.
Selamat
Hari Guru
Sama
halnya kami anak-anaknya yang disayangi penuh, Ibu melakukan hal sama terhadap
murid-muridnya. Ibu kerap bercerita, bagaimana murid-muridnya menyukai cara ia
mengajar. Hal yang juga berdampak saat di luar kelas. Saya teringat saat kecil
dulu, saat pulang sekolah bersama Ibu dan harus menyeberangi jalan,
murid-muridnya tertegun lama berharap cemas sebab kami terlalu lama untuk
melintas di tengah jalan padat. Lain waktu, murid-muridnya juga menunggu di
parkiran motor Astrea Ibu, hanya untuk melihat Ibu pulang. Kecintaan sama juga
Ibu perlihatkan bagi murid-muridnya. Saya teringat, saat Ibu begitu sedih
ketika seorang muridnya yang berasal dari keluarga broken home harus terdampar di rumah sakit jiwa.
Ibu berkunjung kesana, melihat muridnya dalam sel dan memanggil-manggil nama
Ibu dari dalam sana. Kata Ibu saat itu, “dia tidak gila. dia pintar…” ujarnya
bersedih hati.
Tapi
segala aktifitas mengajar Ibu terhenti awal tahun 2010 silam. Bersebab telah
memasuki usia senja, Ibu pensiun. Ia banyak menghabiskan waktu di rumah seorang
diri menunggu cucu dan anak-anaknya pulang sekolah dan kerja. Terkadang ia
menghabiskan waktu di balai pengajian dengan Ibu-ibu komplek.
Walaupun
Ibu sudah pensiun, tapi murid-muridnya hingga sekarang masih terus bertandang
ke rumah. Bersilaturahmi, terlebih disaat lebaran. Seperti lebaran kemarin,
mereka datang bergerombolan memenuhi ruang tamu. Dan pertemuan mereka selayak
nostalgia. Terkadang terdengar celotehan hingga tertawa bahak mengenang masa
lalu.
Jika
seperti ini alangkah senangnya memiliki Ibu seorang guru. Ia akan terus
dikenang, walau tidak lagi berdiri di depan kelas. Ia akan terus mengajar,
walau tidak lagi memegang kapur atau duduk di meja guru. Maka benar seperti
yang diutarakan Ki Hajar Dewantara, setiap
orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.
Terimakasih
Ibu.
Selamat
Hari Guru
Izin menyimak yaa, Ferhat. :)
BalasHapus