Saya mengenalnya pertengahan
tahun 2012 silam. Saat itu, tanpa sengaja menemukannya di tumpukan peserta
kelas menulis FLP. Perawakannya tinggi besar, wajah keras, dengan dagu sedikit
mendongak. Melihatnya, saya teringat dengan pemeran antagonis di sinetron
Indonesia. Saya bersyukur, saat berjumpa ia tidak mengenakan jas hitam dengan
kacamata gelap. Jika seperti itu, ia akan terlihat seperti penculik anak
ketimbang simpatisan FLP.
Berhari selanjutnya, saat kelas
menulis FLP, ia datang lagi. Saya mulai tahu, ternyata ia juga gemar menulis. Konon
terdengar, ada banyak tulisan yang ia publish di note facebook dan blog
rahasianya, yang kemudian satu persatu ia hapus pelan-pelan. Ia menyukai
purnama. Maka tulisannya akan muncul saat bulan tepat berbentuk sempurna.
Puisi-puisi absurd yang cuma ia dan Tuhan paling tahu. Dan mengenalnya dari
barisan kelas menulis, saya menyadari, ia tidak seseram penculik di sinetron. Wajahnya
keras tapi hatinya lunak selayak ustadz yang pernah ia cita-citakan saat duduk
di bangku SMA.
Saya teringat, kapan kami mulai
membaur. Suatu hari, selepas kelas menulis FLP, ia berencana membeli sepatu
kantor yang membuat kami harus memutar-mutar Pasar Aceh. Dari sanalah, kebiasaan
tak disepakati itu terbentuk. Ia kerap datang ke rumah, untuk membahas hal
remeh temeh terkadang penting dan tak penting. Biasanya duduk di teras hingga
larut malam, bahkan nyaris pernah hingga subuh. Karena jalur alamat rumah kami
berdekatan, ia menjelma jadi tukang antar jemput jika bepergian kemana saja.
Dan saya menyadari, ada begitu banyak liter bensin yang terselamatkan dari
motor saya.
Ada banyak hal jika sedang
berkumpul dan berjumpa. Terlebih lagi, kami berdua cenderung memiliki prinsip
sama; anti terjebak pacaran ala anak muda, dan hobi makan bakso atau ayam
penyet. Karena kerap berdua, dugaan terdengar pun jadi tidak-tidak. Ah,
biasalah orang kita. Berdekatan dengan lawan jenis disebut pacaran. Terlalu dekat dengan sesama jenis dikira hombreng (arrgghh). Dan dugaan terakhir
itu paling sering terdengar. Masa bodo’. Karena paling tidak senang mengurusi
hal-hal tidak penting, kami anggap itu sama sekali tidak penting.
Selain warung bakso dan gerai
ayam penyet, warung kopi juga media tempat kami berkumpul. Bersebab sering
nongkrong bersama, tipikal masing-masing pun terbaca. Ia gemar bercerita. Terkadang
cerita tak penting dibuat seakan seru sekali menyaingi film action di serial TV,
ditambah dengan mimik dan geraknya yang heboh sendiri. Banyak hal dicerita,
sampai saya bosan dan menguap mendengarnya. Tentang Yoyong-kucing
kesayangannya, video lucu yang ada di youtube, teman kantor, film-film, status
facebook orang, tentang bakso, imajinasinya, hingga kucing melahirkan. Dan saya
tipikal cepat bosan mendengar orang bercerita jika terlalu standar (hahahahaa),
yang ujung-ujungnya gampang ngantuk. Mungkin ceritanya cuma ditangkap di
sepuluh menit pertama, selebihnya pura-pura nyimak walau dalam hati mulai
ngedumel “ni orang kapan selesai seh,
ceritanya.”
Pernah sekali, saat lebaran, ia
terlalu banyak cerita yang beberapa bagian diselingi becanda. Seperti biasa,
ceritanya biasa aja, tapi diceritakan seakan sangat luar biasa ditambah
imajinasinya ala-ala Hollywood. Karena mulai bosan, saya izin pamit numpang
shalat di kamarnya. Sebenarnya modus, karena ujung-ujungnya saya numpang tidur
di kamarnya sampai maghrib ketimbang nyusul dan mendengar ceritanya lagi di
ruang tamu. Lain waktu, jika saya kelewat lama bertamu ia tidak segan-segan
mengusir, “pulang Bang, udah lama kali.”
Hahahaa… Hal sama juga berlaku, pernah sekali ia berlebaran ke rumah dan agak
lama pulang, saya juga mengusir.
Kelewat masa bodo’, akhirnya
masing-masing berusaha mahfum. Ia tahu dan pandai membaca karakter orang.
Mungkin pekerjaannya yang mengajari hal itu. Maka, saat ngumpul di warung kopi,
ia akan paham saat saya lebih cenderung menghabiskan waktu mendengar musik atau
sibuk dengan laptop, ketimbang berbicara panjang lebar.
Tapi itu tergantung. Jika
pembahasan benar-benar serius, kita akan seperti satpam yang siaga di pos
ronda. Mendengar panjang dengan beragam solusi dan ikhtiar. Kadang-kadang
menasehati sesama, terkadang juga saling menghina-dina. Maka disitu saya meletakkan
ia di atas rata-rata teman kebanyakan. Ada banyak teman di luar sana, namun
sedikit patut disebut sahabat. Dan ia berada dalam barisan sedikit itu. Dengan dia,
tidak lagi menjadi orang asing atau mempertahankan gengsi. Hal kebalikan juga
berlaku darinya.
Namun tak semuanya berjalan
mulus. Ada suatu masa saya dan ia menjadi ganjil. Ada satu titik kebersamaan
ini terhenti. Itu beberapa tahun lalu. Terjebak dalam cerita rumit dan sulit. Terkadang
berjumpa, tapi terasa ada sekat dan dinding pemisah hingga jatuh penuh
basa-basi. Masing-masing terjebak dalam dugaan. Tahu ada sesuatu yang
disembunyikan dan diceritakan di belakang sana. Alhasil, masing-masing memilih
mundur. Terkurung dalam dugaan tanpa penjelasan, bermain-main dalam wasangka.
Disaat itu, tidak ada lagi ketawa hahaha hihihi, tidak ada lagi nongkrong di
warung kopi, tidak ada lagi bercerita remeh temeh, berkeliling mencari sesuatu,
hingga absen bertamu di hari baru. Semuanya memilih tenggelam dalam cerita
rumit dengan sangkaan masing-masing. Ada jumpa, tapi terlihat penuh basa basi. Entah
kenapa, di masa itu saya merasa terpisahkan. Ditinggalkan dalam hiruk pikuk
keseruan yang pernah ada dan ikut larut di dalamnya. Seperti murid SD ditinggal
istirahat di pojok kelas, tidak terlibat dalam hiburan sekolah.
Hingga suatu ketika, saat itu
Jumat. Bertemu di sebuah masjid, singgah sebentar di tempat penjual buah dan
berlanjut ke warung makan. Dan keganjilan itu seakan selesai selepas
menghabiskan makan siang. Masing-masing mengutarakan hal mengganjal. Dan ternyata
benar, kerumitan akan selesai jika ada penjelasan. Mungkin salahnya, saat itu
terlalu terjebak dalam satu sisi. Terjebak dalam diskusi satu pintu sehingga
bermain-main dengan akal pikiran sendiri. Hari itu, kami menghabiskan waktu
hingga menjelang maghrib. Bahkan gara-gara ini, saya harus bolos masuk kantor
selepas istirahat siang.
Saya menghela nafas dengan
kekonyolan ini. Belajar tentang kesetiaan pada teman, namun terkadang kita lupa
bagaimana berlaku adil dalam kesetiaan. Hal ini sempat saya tegur padanya pada
suatu malam saat mengendarai motor, hal yang ia sadari di kemudian hari. Lain
waktu saya menegur sikapnya yang angin-anginan dan moody-an kelas kakap. Belum lagi tipikal borosnya yang terlalu
duniawi. Hal sama juga berlaku, beberapa hal tak ia senangi dari saya juga
diutarakan. Berdua kami mengoreksi hal-hal tak baik, dan berusaha menjadi baik.
Dan untuk pertamakalinya, kami berdua ikut itikaf saat Ramadhan tiba. Hal yang
tak pernah sama sekali kami lakukan sebelum itu. Walaupun akhirnya, lebih banyak ngobrol
ketimbang ngaji, dan menyusun jadwal kapan membeli baju lebaran. Hadeuh!
Lain waktu, kami juga
menghabiskan waktu di Masjid. Masjid Oman adalah pilihan terfavorit kami. Terkadang,
sambil menunggu adzan, kami berdiskusi bercerita tentang banyak hal di selasar tangga;
tentang rezeki, keluarga, persahabatan, kegelisahan hidup, pekerjaan, kematian,
hingga tentang jodoh dan perkawinan.
Semakin dekat, semakin banyak hal
yang diceritakan. Darinya saya belajar, bagaimana menjadi penjaga rahasia
terbaik dan menjaga perasaan orang lain. Ia tak mudah percaya kepada orang
lain, ia juga gampang kecewa terhadap orang lain jika tidak sesuai dengan
ekspektasinya. Saya teringat, dulu, ia pernah berujar jika ia hanya mempercayai
saya 40%. Namun nyatanya, kini, hampir semua kisah hidupnya ia ceritakan. Hal sama
juga saya berlakukan padanya. Maka, dalam berbagai momentum hidup, ia adalah
orang pertama tempat bercerita dan dikabarkan. Kebalikan juga, untuk beberapa
hal dalam hidupnya, saya orang pertama tempat bercerita dan diberitahukan. Dan ini
adalah tingginya sebuah kepercayaan. Jika harus menyusun, namanya akan masuk
lima besar teman terbaik penjaga rahasia.
Hingga akhirnya, kita akan
berhenti pada satu titik kehidupan. Ketakutan yang terus ia ulang-ulang kalau
sedang berkumpul, “nanti kalau udah married,
udah susah diajak lagi. Udah ada orang lain.”
Hal sama yang juga ia utarakan
saat lebaran kedua. “sedih kali aku. Gak
percaya sabtu depan abang nikah. Kehilangan besar awak.” ujarnya via BBM
sambil mengirim emotion cry..
Dan kita sepakat seperti ungkapan
David Tyson Gentry, “true friendship
comes when the silence between two people is comfortable”
Untuk teman yang sering traktir
makan, yang sering bolak balik ke rumah, yang minta dituliskan note ini.
Terimakasih, Birrul Walidain!
Banda Aceh, 21 Juli 2015
Janggal rasanya membaca ungkapan hati seorang pria kepada teman prianya. Memang pandangan masyarakat terlalu kuat terbentuk, bahwa pria yang terlalu intim dengan sahabat prianya diasumsikan macam-macam. Tapi tulisan ini menunjukkan bahwa dalam persahabatan kaum adam ternyata tidak jauh berbeda dengan cerita persahabatan kaum hawa :)
BalasHapusSelamat memasuki fase baru di hari Sabtu bang.
Sahabat tidak selalu harus jalan dan bertemu sesering yang sinetron gambarkan, di dunia kita, sahabat terkadang cukup kita 'hidupkan' di hati :D