sumber; tribunnews.com |
ENTAH kenapa, setiap Ramadhan
datang selalu rasanya ingin bernostalgia. Banyak hal yang bisa dikenang selama
Ramadhan berlangsung. Beberapa moment hidup pun serasa berputar: Bapak yang
pergi saat Ramadhan ganjil, hingga masa kecil di bulan Ramadhan yang selalu
bikin kangen.
Dulu, saat Ramadhan adalah waktu
yang paling seru. Saya tinggal berdekatan Rumah Sakit Zainal Abidin (RSUZA) Lampriet. Tepatnya di belakang perumahan Dokter
yang dulu sering disebut area Kakap Satu. Dulunya, tempat tinggal saya tak
sepadat sekarang. Banyak tanah kosong yang tumbuh ilalang panjang. Kalau hujan,
air menggenangi membentuk danau kecil. Antar rumah terasa jauh dan jarang. Hanya
puluhan, bukan ratusan seperti sekarang.
Saat Ramadhan, teringat saat
tarawih dulu. Dulu di kampung saya belum ada meunasah. Alhasil, untuk tarawih
kami harus berjalan lumayan jauh ke Masjid Ibnu Sina yang letaknya di dalam RSUZA.
Letaknya agak sedikit jauh dari pintu gerbang utama. Melewati bangsal ruang
inap dengan ratusan keluarga pasien yang hilir mudik di koridor rumah sakit. Masjidnya
hanya hitungan langkah dari kamar mayat. Menuju kemari, kami harus melewati
jalan kampung yang gelap. Belum ada penerangan saat itu.
Adalah keseruan pada masa-masa
itu. Pergi bergerombolan tiga puluh menit sebelum adzan berkumandang. Singgah ke
rumah tetangga, menjemput mereka untuk pergi bersama. Berbincang sepanjang
jalan yang kerap diselingi cekikikan. Langkah akan semakin gila, jika keasyikan
bercerita suara adzan sayup-sayup terdengar. Berlari di sepanjang koridor RSUZA
yang panjangnya minta ampun.
Pada masa itu, jarang sekali yang
bertandang taraweh dengan sepeda motor. Semuanya berjalan kaki. Jadi jalan
kampung riuh. Ditambah lagi, anak-anak (termasuk saya) yang terkadang absen
tarawih, memilih bermain lilin di seputaran rumah. Dulu seingat saya, membakar lilin seakan menjadi pekara wajib
saat Ramadhan tiba. Selepas berbuka, biasanya masing-masing berkumpul di rumah
membakar lilin di teras, di pagar, atau di dalam tempurung kelapa. Jika seperti
ini, siap-siap teras rumah dipenuhi cairan lilin yang meluber kepanasan. Atau beradu
lomba, memenuhi tempurung kelapa dengan luberan lilin cair warna warni. Membakar
lilin dalam tempurung kelapa juga sering dijadikan penerang pengganti senter
saat taraweh.
Itu dulu.
Sekarang, keadaan berubah total. Tempat
tinggal saya semakin padat. Rumah tumbuh selayak jamur di musim hujan. Di beberapa
titik yang dulunya tanah lapang, kini berubah menjadi perumahan. Komplek dokter,
jalan utama menuju Masjid Ibnu Sina, kini digusur berubah menjadi komplek Rumah
Sakit baru. Tak ada lagi tanah lapang. Jalan-jalan kini benderang. Semua seakan
berubah.
Tak ada lagi yang berjalan kaki
beramai-ramai saat tarawih. Tak ada lagi yang singgah ke rumah tetangga
memanggil untuk taraweh bersama. Orang-orang (termasuk saya) lebih suka
mengendarai sepeda motor. Pergi sendiri disaat waktu padat menjelang adzan.
Membakar lilin? Entahlah, hampir
beberapa tahun ini saya tak pernah melihat anak-anak kecil bermain lilin
disini. Tidak ada yang berkumpul di teras rumah atau berteriak-teriak selepas
berbuka di jalan kampung. Mungkin nonton TV atau pegang gadget jauh lebih
menyenangkan bagi mereka. Dulu juga selepas taraweh hanya ada suara tadarus
sayup terdengar. Sekarang, ditambah sayup tendangan dari lapangan futsal yang
baru dibangun beberapa tahun belakang di depan rumah.
Terkadang, perubahan kerap
merenggut hal kebiasaan dari hidup kita. Merenggut hal-hal menarik yang
akhirnya cuma jadi kenangan.
Ada yang merasakan hal sama
tentang ini??
Aku dulu waktu kecil, paling senang kalau bualan puasa datang, karena bisa bakar lilin :D
BalasHapussama eky, tapi anak2 sekarang kok nggak ada lagi ya?
BalasHapusDan, dulu sekali, ketika ceria usia belia, hari-hari sepanjang ramadhan selalu diwarnai dengan dentuman meriam bambu yang meruapkan bau khas asap karbit...
BalasHapusayo diajak lagi anak-anak tetangga bakar lilin, ferhat...hehe iyaa, suka melankolis kalau bulan Ramadhan...kenapa ya...kangen masa kecil..
BalasHapus