Dua kapal besar terdampar di Punge Blang Cut. Berhadapan dengan rumah warga. Sempat ingin dihancurkan, tapi warga terus mempertahankan.
Tsunami Aceh−Selepas berkeliling di Ulee Lheue melihat di kuburan
massal tsunami Aceh dan menapaki gedung escape building TDMRC, akhirnya aku
dengan beberapa teman berniat mengunjungi PLTD Apung. Diperingatan 9 tahun
tsunami Aceh ini, PLTD Apung merupakan titik penting untuk dikunjungi. Ternyata
niatan ini seakan terpartri sama di beberapa benak warga. Terbukti ketika kami
tiba, ratusan warga memadati area PLTD Apung yang tertata rapi.
Jalan di kampung ini tiba-tiba
padat. Ratusan sepeda motor dan mobil terparkir rapi di ruas jalan. PLTD Apung
ini adalah kapal tongkang yang dulunya memasok listrik untuk kawasan Banda Aceh
dan Aceh Besar. Ketika tsunami ia terhempas ke daratan sejauh 5 KM dari tempat
muasalnya di Ulee Lheue. Ia terdampar di tengah pemukiman penduduk. Dan
melintang di tengah jalan kampung Punge Blang Cut. Beratnya puluhan ribu ton
dengan panjang belasan meter.
Ternyata kedatanganku dengan
teman-teman berbenturan dengan dzikir dan doa bersama. Lantunan yasiin dan
tausyiah terdengar sayup-sayup di kejauhan. Ratusan warga berpakaian putih
memadati area PLTD Apung yang tertata rapi. Kami berhenti sejenak di depan
rumah warga. Seorang tukang parkir datang mendekat.
“Jam dua siang nanti dibuka lagi
bang, sekarang lagi berdoa,” ujarnya. Ternyata untuk sementara kawasan ini
tertutup bagi wisatwan.
Sempat berhenti lama disana.
Celingak celinguk memikirkan lokasi alternatif lainnya. Junaida, Isni, Aslan,
dan Adit hanya diam. Tidak ada referensi tempat kunjungan lain. Ingin pulang
terlalu pagi, masih jam 10:00 WIB
“Kita kesana aja! Pasti kalian
belum pernah lihat yang ini!” ujarku tiba-tiba.
“Kemana Bang?” tanya Isni
mengernyit.
Aku tak peduli, segera kubawa
sepeda motor ke arah jalan kampung yang sempit. Melewati lorong-lorong panjang
yang terbuat dari beton. Di beberapa bagian rusak parah membentuk kubangan.
Di ujung jalan, di depan rumah
warga dua kapal besar terdampar di tanah kosong. Satu diantaranya terdampar sedikit
ke pojok mendekati dapur warga. Satunya lagi melintang di tengah jalan kampung
yang sempit. Aslan, Isni, Junaida dan Adit terperangah melihatnya. Mereka tidak menyangka ada kapal besar lainnya
yang masih terdampar di daratan. Selama ini mereka hanya tahu kapal PLTD Apung
atau kapal di rumah Lampulo yang terbawa tsunami Aceh.
Keheranan mereka ini sedikit
beralasan. Soalnya kedua kapal ini letaknya sedikit jauh dan tertutup rumah
warga. Tidak ada tanda sebagai penunjuk. Beda jika dibandingkan dengan PLTD
Apung yang sudah tertata rapi, bahkan dijadikan objek wisata.
Salah satu dari dua kapal tsunami Aceh |
Aku sendiri baru tahu kedua kapal
ini september silam. Ketika salah satu guide PLTD Apung mengajakku kesana saat
liputan. Walaupun beritanya sering kubaca di media, tapi lokasi sebenarnya aku
tak tahu jika tidak ditunjuk guide PLT Apung itu.
Kedua unit kapal KPLP ini adalah
milik Adpel Malahayati Aceh. Mungkin dulunya berfungsi sebagai kapal patroli.
Tsunami Aceh silam membuat kapal ini terdampar di Dusun Tuan Di kandang, Punge Blang
Cut, Banda Aceh. Sempat beberapa kali hendak dilelang untuk dihancurkan. Tapi warga sekitar
keukeuh pasang badan mempertahankannya.
“Biar jadi bukti untuk anak-anak
dua puluh tahun ke depan,” terngiang kembali ucapan seorang Ibu ketika pertama
kali aku kesini.
Begitu sampai ada beberapa
wisatawan yang sibuk berfoto dan menaiki kapal hingga ke atasnya. Penasaran kami
pun mencoba. Melihat lebih dekat ruang-ruang di dalamnya. Posisi kapalnya yang
miring 80 derajat bikin kami kesusahan ketika berjalan. Lebih repot lagi ketika
kami naik ke kapal satunya lagi yang lebih besar. Di dek kapalnya yang licin
dari fiber dijadikan perosotan belasan bocah-bocah di sana. Ketika naik,
beberapa bocah mengingatkan kami untuk melepaskan alas kaki.
bersebelahan dengan rumah warga |
Aku dan Adit mengikuti saran
mereka. Aslan tetap pede dengan sepatunya, akhirnya ia kesusahan saat menanjak.
Hampir nyungsup beberapa kali. Isni dan Junaida yang mengenakan kaos kaki
tertatih-tatih. Akibatnya mereka lebih memilih duduk daripada menjelajah kesana
kemari. Gara-gara kemiringan kapal ini juga bikin kami membatalkan untuk
menjelajah ruangan di dalamnya.
Kapal KPLP ini salah satu dari
sekian banyak bukti kekuatan tsunami Aceh. Tapi sayang kondisinya sedikit
menyedihkan. Padahal menurut penuturan warga, banyak wisatawan (terutama
wisatawan Jepang) berkunjung kemari. Andai ditata rapi dengan taman bermain,
tentu menjadikan tempat lebih menarik untuk dikunjungi. ***
itu dijaga sendiri sama warga ya bang? ga ada campur tangan pemerintah?
BalasHapusIya Liza. dijagain sma warga. sebagian kapalnya udah keropos. Yang kapal dari besi memang udah karatan. kasihan... hiks ;-(
HapusWah..
BalasHapusPasti seru nih, liburan disini..
Dicatat dulu deh, siapa tahu ntar bisa kesini.. :)
Hayuuu mampirr...
Hapusassalamualaikum ferhat. Saya blm pernah masuk ke dalam kapal apung, lht dr luar ada. O iya, saya ada baca cerpen ferhat di serambi indonesia hari ini. Terharu bacanya, bagi pasangan yg sdh menikah ada bekas istri atau bekas suami, tp bagi seorang anak tdk ada bekas ayah atau bekas ibu. * indah *
BalasHapusWooo.. ada kapal lain juga ternyata di Punge. Baru tahu aku.
BalasHapusMampir Ri, sebelum pindah ke Jakarta..
Hapusterimakasih...
BalasHapusLuar biasa artikelnya ferhat,. Insya Allah lahan tersebut sudah dilakukan proses pembebasan oleh Pemko Banda Aceh. Kedepan Insya Allah aset tsunami itu akan dipugar dan dijadikan situs tsunami. Terima kasih
BalasHapusAlhamdulillah..
Hapusini berita menggembirakan. mudah2an bisa jadi andalan wisata baru Banda Aceh bang..
yang jilbab ijo manis ya?
Hapus