Terkadang tempat yang sering dilalui
malah jarang dijamah. Sekedar untuk liburan atau mengintip keadaan. Mungkin
itulah yang sering terlihat di Gunongan, bangunan putih di perempatan Jalan
Teuku Umar Banda Aceh.
Padahal letaknya strategis. Tapi jarang
sekali yang berkunjung dibandingkan tempat wisata lainnya. Disini kalah ramai. Di
tempat lain hiruk pikuknya terasa kuat, kalau disini malah sunyi senyap.
Berbilang tahun tinggal di Banda
Aceh, ini kali kedua aku berkunjung ke taman yang berdekatan dengan kuburan
massal Belanda, Kherkhoff.
Pagi itu udara sedikit menyengat,
padahal waktu siang belum tiba. Beruntung kedatanganku kali ini disambut Pak
Ridwan. Ia baru satu tahun yang lalu menjadi pemandu di taman Gunongan ini. Aku
menemuinya di sebuah rumah merangkap mess di sudut taman. Sebelum beranjak
keliling taman, ia menyuruhku mengisi buku tamu dan menyerahkan beberapa brosur
wisata.
Gunongan |
Kami berjalan menyusuri taman
yang hijau. Rumput tumbuh padat dengan bunga bougenville yang menyala terang di
pinggirnya. Gunongan menjulang di depan sana. Warna putih kontras dengan langit
biru dan hamparan rumput hijau.
“Silahkan masuk,” ujarnya sambil membuka pintu
besi kecil di sisi selatan Gunongan. Aku beruntung, Pak Ridwan mengajakku untuk
masuk ke dalam Gunongan.
Pintu besi ini adalah pintu utama
menuju puncak Gunongan. Dulunya pintu ini bernama gua berpintu tangkup perak.
Bagiku melihat Gunongan selayak
melihat Taj Mahal di India. Kisahnya nyaris serupa walau tak sama. Sama-sama
dibangun sebagai hadiah untuk mereka yang disayangi. Selayak Taj Mahal yang
hadir sebagai wujud cinta Maharaja Shah Jahan ke istrinya, Mumtaz Mahal. Begitu
juga dengan Gunongan.
Gunongan adalah hadiah khusus
dari Sultan Iskandar Muda kepada permaisurinya Putroe Phang yang berasal dari
Pahang, Malaysia. Bangunan ini dibangun sekitar abad ke 16 semasa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda 1607-1636. Sengaja dibangun untuk menepis rasa rindu dan
sepi Putroe Phang yang jauh dari keluarganya di Malaysia. Berdasarkan kitab
Bustanus Salatin, Gunongan termasuk dalam komplek Taman Ghairah yang mencakup
hingga Pintu Khop di seberang jalan sana. Jadi bisa dikatakan, dulunya Gunongan
dan Pintu Khop berada dalam satu kawasan.
Gunongan ini tampak kokoh dengan
dinding tebal. Masuk ke dalamnya aku terpaksa merunduk sebab langit bangunan
yang rendah.
“Ini dimaksud sebagai wujud hormat
apabila memasuki suatu tempat atau bertamu,” ujar pak Ridwan menjelaskan
filosofinya.
Dinding antar ruangan juga sempit
membentuk lorong panjang yang bisa dilewati oleh satu orang. Di lantai bangunan
terdapat celah yang membentuk rongga kecil. Pak Ridwan meyakini jika lantai itu
dibongkar terdapat terowongan panjang hingga menembus ke Pintu Khop yang letaknya
berapa ratus meter kedepan.
“Banyak yang bilang di bawahnya
ada terowongan, tapi bisa jadi sudah tersumbat,”
Batu untuk membilas rambut, lubang menuju lantai atas, lorong sempit menuju lantai atas |
Di lorong sempit kami menaiki
pijakan tangga menuju lantai atas melalui celah lubang. Sekilas bentuk dan
ukurannya menyerupai lubang buaya di Jakarta. Di lantai dua Gunongan ini baru
terdapat ruang terbuka dengan lahan sempit. Rumput hijau tubuh rapi di
sela-selanya.
Dari sini aku bisa melihat struktur Gunongan lebih
dekat. Bangunannya padat dan polos tanpa ukiran di dinding. Struktur bangunan
ini melengkung dan saling menumpuk hingga menjulang ke atas. Ia digambarkan
selayaknya topografis gunung yang berlapis-lapis dan berundak-undak.
Bentuknya bersudut sepuluh. Diatasnya
terdapat menara berbentuk kelopak bunga mekar yang menjulang. Di setiap sudut
bangunan dilengkapi bagian seperti altar berornamen bunga mekar berdaun
runcing.
Pak Ridwan lantas mengajak aku
mengitari Gunongan. Di sudut selatan bangunan terdapat tangga sempit dan terjal
menuju lantai teratas. Dari sana pengunjung bisa melihat area komplek lebih
luas. Termasuk diantaranya sebuah batu silinder di halaman kiri Gunongan.
Batu itu dipercaya sebagai tempat
membilas rambut permaisuri. Bentuknya bulat dengan pijakan dua tangga. Di
tengahnya terdapat lubang berdiameter kecil yang menampung sedikit air.
Berdekatan dengan Gunongan juga ada bangunan persegi panjang
yang melingkar tanah kosong di dalamnya. Pak Ridwan juga mengajak saya kesana.
Ternyata di dalamnya terdapat area luas yang merupakan makam Sultan Iskandar
Tsani Alauddin Mughayat Syah (meninggal tahun 1641). Ia merupakan Sultan Aceh
ketigabelas menggantikan Sultan Iskandar Muda.
Makam Sultan Iskandar Tsani |
Di komplek ini juga terdapat
museum kecil yang dikelola oleh Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala. Ia menempati
gedung yang berhadapan pintu gerbang komplek. Di dalam sana terdapat beberapa
benda peninggalan dulu. seperti kendi, pecahan guci, stempel kerajaan, atau
pecahan mata uang. Juga dilengkapi foto-foto yang menjelaskan bangunan sejarah
di beberapa lokasi di Aceh dan Sumatera Utara.
Museum kecil di Gunongan |
Pak Ridwan membenarkan jika
komplek wisata ini jarang dikunjungi oleh wisatawan. Jika pun ada itupun kerap
tamu-tamu asing yang umumnya dari Malaysia.
“Kadang-kadang sehari cuma dua
sampai lima pengunjung. Bahkan juga kadang-kadang nggak ada,” ujarnya yang
mengaku prihatin dengan minat warga lokal yang kurang untuk berwisata ke tempat
bersejarah ini.
“Padahal siapa saja bisa masuk ke
dalam Gunongan. Nggak dipungut biaya. Cuma selama ini saya kunci takut jika
saya lengah ada yang berbuat yang nggak-nggak di dalam sana,” lanjutnya.
Disaat kunjunganku hari itu, aku
juga berjumpa dengan Dina, salah satu warga Jakarta yang baru tiba di Banda
Aceh. Ia juga mengamini sepinya tempat ini.
“Iya tempatnya sepi padahal
bangunannya rapi dan terawat,” ujarnya yang datang bersama suami. Malu juga
rasanya, ia yang jauh-jauh datang langsung tertarik untuk singgah kemari.
Memang sangat disayangkan jika bangunan
tersisa dari komplek Taman Ghairah ini harus terabaikan dari hiruk pikuk
kunjungan wisatawan.
INFO GRAFIS
1. Jam
kunjung Gunongan Senin-Minggu jam 09:00 s/d 17:00 WIB
2. Tidak
dipungut biaya untuk masuk ke kawasan ini
3. Disarankan
berkunjung disaat pagi atau sore hari ketika cuaca lebih sejuk dan bersahabat.
Sebab altar teratas Gunongan merupakan lahan terbuka tanpa penyekat yang menahan
terik ketika cuaca panas.
#KelasMenulis FLP Aceh
Cinta untuk Aceh
Saya belum pernah masuk ke sana, Ferhat ... Kalau Putroe Phang sudah se
BalasHapusPadahal Gunongan ini bisa masuk daftar warisan dunia (world heritage list) :)
BalasHapusIsni malah belum pernah ke sana, seringnya ke putroe phang, hhehhee harus nih kalau ga dipecat jd masyarakat Aceh Rauyeuk nih :v
BalasHapusAceh sebenarnya paling banyak wisata sejarahnya, hanya peninggalan sejarah kurang terawat dan terinfo sehingga tidak begitu populer, pasca Tsunami baru wisata aceh mulai gemerlap di kalangan internasional, itu pun kadang banyak yang bingung Aceh itu dimana.
BalasHapusMakasi Bang Ferhat infonya. Kalau enggak baca, ga tau deh ada situs peninggalan sejarah ini. Nanti kalo pulang ke Aceh, wajib mampir ini.
BalasHapus