Menuju ke mesjid ini harus melewati lorong panjang dan sempit. Disini juga sebutannya buka masjid, melainkan gedung serba guna. Bahkan masjid tempat aku kunjungi ini, sempat ditutup selama tiga tahun pasca bom Bali
cerita sebelumnya Lihat Ubud serasa di FTV #6
Berempat kami terpaku heran. Di depan
kami hanya ada cafe kosong melompong. Tidak ada pegawai dan pengunjung,
terlebih masjid. Kami menunggu pak Andi yang masih di belakang. Semenit kemudian
ia menunjuk ke arah kiri bangunan.
“Lewat situ,” ujarnya.
Bergegas aku dan teman-teman
mengikuti langkahnya. Jalan yang kami tapaki bikin aku menelan ludah. Ternyata
masjidnya sangat tersembunyi. Menuju kesini harus melewati lorong kecil panjang
yang cuma mampu dilewati satu orang. Kami berlima harus berbaris mengikuti
langkah Pak Andi di depan.
Lorongnya panjang. Kanan kiri berbatasan dengan tembok. Dan beberapa meter kedepan baru terdapat ruangan sedikit luas, mesjid!
Waktu dzhuhur belum tiba. Di selasar
masjid akhirnya kami berbincang lama tentang masjid yang tersembunyi ini. Aku
yang terbiasa hidup di kawasan mayoritas, sedikit kaget melihat masjid yang
begitu sulit dijamah yang bahkan kubahnya tidak ada.
Jadi teringat sewaktu nginap di
kostan Taufiq. Pagi-pagi buta dibangunin untuk berjamaah di masjid. Disana terbilang
pagi, jam 05:00. Tapi aku yang terbiasa hidup di Indonesia bagian barat, tetap
aja ngerasa kalo itu jam 04:00 pagi yang masih gelap gulita.
“Trus kalo mau shalat kemana?”
tanyaku polos.
“Ya pake aja ruang belajar atau
ruang kosong gitu,” jawabnya enteng.
Hhhmmm, pikirku cuma di luar negeri aja ada gituan.
Yah, kembali lagi. Dimana-mana
yang namanya mayoritas tentu lebih mendominasi. Tak bisa dipungkiri, aku yang
biasa menjadi mayoritas di Aceh mungkin
berlaku hal serupa.
Waktu zhuhur tiba. Seorang muadzin
berdiri di depan mimbar. Tanpa pake mic,
ia mengumandang adzan. Suaranya pun hanya terdengar oleh kami di sekitar
selasar masjid. Jamaah nggak ramai, bisa dihitung dengan jari. Ketika shalat
pun Imam tidak menggunakan mic.
Ketika shalat dan nongkrong di
kantin kecil di sudut masjid, aku bertemu Pak Ishak. Ia pengurus yang mengelola
masjid ini. Bertiga dengan Rara, kami berbincang-bincang.
Dari pak Ishak juga aku tahu jika
Masjid ini sempat ditutup selama tiga tahun! Waduh, kayak sekolahan aja pake ditutup.
“Sewaktu bom Bali masjid ini
sempat diawasi, jadi terpaksa dihentikan sampe tiga tahun,” ujar si Bapak yang
tinggal di belakang masjid.
Jadi selama itu, segala pelaksanaan
ibadah berlangsung di rumah masing-masing. Mau shalat jamaah, tarawih, jumatan,
shalat Ied.
masjidnya |
Aku nggak nyangka ternyata efek
dari Bom Bali yang dilakuin sekelompok orang itu malah merugikan umat Islam lainnya
disini. Ibarat peribahasa, gara-gara uban sebiji bikin rambut nggak hitam lagi.
Bahkan konon gara-gara Bom Bali juga hubungan umat beragama (terutama Islam) di
Bali sempat merenggang.
Kata Pak Ishak, sound mesjid cuma dipake waktu shalat
Ied, tarawehan, dan jumatan. Mungkin
itupun cuma untuk di dalam masjid. Soalnya sebagian tetangga masjid
kebanyakan non muslim. Bahkan jendela rumah mereka tampak jelas dari selasar
mesjid. Cuma dibatasi beton yang tingginya nggak terlalu menjulang.
“Tapi disini kita saling
membantu. Kalo umat Hindu ada acara kita yang muslim bantu ikut terlibat. Begitu
juga kalo muslim punya acara, nanti mereka (umat Hindu) juga bantu-bantu,”
itulah toleransi yang terbentuk disini. Saling menghormati biar sama-sama tentram.
Bahkan terkadang tanpa
dikehendaki, perilaku kita (muslim) diluar sana setidaknya mempengaruhi
kehidupan mereka disini. Kalo kita berlagak abal-abal, bisa jadi disamaratakan
perilakunya. Dan kasihannya sodara-sodara yang hidup di lingkungan minoritas. Sedikit
banyak pasti terkena dampaknya.
Disini aku juga baru tahu nama
masjid/mushalla disamarkan jadi gedung
serbaguna. Nggak ngerti deh kenapa sebutannya kayak gini (mungkin ini cuma di kawasan Gianyar, kalo
di Denpasar nggak). Ini aku tahu dari pengumuman kecil di dinding luar
ketika ingin pulang.
Dan disaat ingin pulang sebuah
kendaraan masuk ke pekarangan cafe. Mata si pengemudi celingak celinguk.
Istrinya yang jilbaban juga celingak celinguk. Sontak kami semua nunjukkin
lorong sempit itu.
“Mau ke mesjid pak? Lewat situ
pak...”
Si Bapak manggut-manggut. Berasa ketiban
pahala gede banget bisa bantu orang lain. Dan tersadar, hidup di komunitas
mayoritas dengan fasilitas memadai dan mudah dijumpai sebenarnya adalah sebuah
keberkahan.
Menjelang sore, perjalanan pun
berlanjut. Kali ini ke Bedegul! Aku sempat belum ngeh, tempat apaan itu. Fadli
dengan semangat berujar, “itu Hat, candi yang ada di uang Rp 50 ribu.”
Oallaaa... yang ditengah danau
itu! Wuiihhh keren!
Mobil terus melaju.
Bersambung ke #Bali 8
Hahaha...traveling ke daerah yang kita bukan lagi berada dalam mayoritas emang suka bikin shock ya. Tapi syukurlah kita jadi sadar betap tidak enaknya berada dalam minoritas sehingga kita bisa menghargai saudara-saudara kita yg minoritas lainnya.
BalasHapusyupp.. bener Cit!
Hapusjadi minoritas terkadang menyulitkan. tapi kita yang mayorits mudah2an gk menyulitkan jg minoritas..