Di bandingkan di beberapa tempat di Bali, nilai tradisional di Ubud lebih berasa. Bule-bule naik sepeda. Warga jalan sambil pake baju adat. Kebaya dengan kain melilit sarung. Kaum Bapaknya pake udeng, lilitan kepala. Mereka jalan sambil bawa nampan yang penuh sesajen sembahyang. Lha, kok mirip kayak di FTV-FTV yaaa..
Cerita sebelumnya Kerennya Monumen Perjuangan Rakyat Bali
Setelah berlama-lama di Monumen Perjuangan
Rakyat Bali, mobil melaju lagi. Pak Andi membelah kota Denpasar menuju
Ubud-Gianyar. Dua lokasi ini terkenal sebagai tempat wisata yang paling diincar
di Bali. Bahkan levelnya udah international. Ubud juga dikenal sebagai salah
satu lokasi wisata paling ramah di dunia.
Sedangkan Gianyar adalah salah
satu kabupaten di Bali, dan Ubud kecamatan di dalamnya. Bayangin, cuma KECAMATAN
doang bisa bikin ngiler orang sedunia. Haduh!
Seperti juga tempat lainnya. Menuju
kemari jalanan dipenuhi beberapa bangunan unik. Padahal cuma kantor camat,
sekolah dasar, kantoran, tapi bentuknya meliuk-liuk dengan desain keren tetap
aja bikin menganga. Patung dewa ini itu berjejer di sepanjang jalan. Bentuknya besar-besar.
Pahatannya rumit-rumit.
Aku dan Fadli tetap bagi tugas. Jepret
sana sini. Sesekali berdecak kagum. Warga Bali yang sudah konsen wisata sejak
berpuluh tahun silam, seakan-akan melek dan sadar dengan potensi daerahya.
Sepanjang jalan Fadli berdecak
kagum, “gila ya Hat, nggak harus ke laut atau tempat wisata lainnya. Lihat kotanya
aja udah bikin menarik,”
JEPRETT!! Fadli motret lagi dari dalam mobil.
Jalanan lumayan sempit. Ukurannya
cuma muat tiga mobil dan itu dibagi jadi dua lajur. Tapi siang itu jalanan lengang.
Mobil lewat satu-satu. Beberapa bule berseliweran.
Pak Andi sempat nunjuk ke sebuah
lokasi yang bikin kami galau gelisah. “Itu kebun binatang Bali. Kepingin masuk?”
tanyanya sambil memperlambat mobil.
Kami melongok rame-rame. Sebuah pamflet
dari batu alam tertulis BALI ZOO. Tempatnya keren. Rindang rimbun. Seru juga
sih lihat binatang secara langsung. Lebih-lebih yang jarang dilihat. Tapi
berhubung ini semuanya gerombolan wisatawan korban perang Vietnam akhirnya kami
nolak.
“Nggak usah deh pak, kayaknya
mahal,” Ujar Rara asal nebak, padahal belum turun dari mobil. “Kayaknya
tiketnya Rp 100 ribu deh,” sambungnya lagi.
Pak Andi melaju kembali mobilnya.
Dari balik kaca mobil kami cuma mampu melambaikan tangan. Hiks! Gagal deh lihat
macan tutul.
Suasana perjalanan semakin seru. Bangunan
candi, rumah-rumah, bahkan galeri-galeri seni berjejeran sepanjang jalan. Yang
bikin takjub, kayaknya perkampungan disini dibeda-bedain sesuai hasil
seni/karyanya. Aku teringat Junaida yang berujar beberapa hari lalu.
“Bang, disana itu ada desa khusus
lukisan, ada yang khusus ukiran kayu, ada yang khusus pahatan batu. Kayaknya
dipisah-pisahin,”
Awalnya aku nggak ngeh. Tapi ketika
mobil masuk ke daerah Gianyar omongan Junaida berseliweran di kepala. Oh
beneran toh!
Entah kenapa (mungkin diatur kali
ya,) perkampungan disini seperti dipisah-pisahin berdasarkan hasil seni.
Pertama aku melewati perkampungan yang semuanya berjualan ukiran kayu. Dari ujung
sana sampe ujung situ semuanyaaaa jualan ukiran kayu. Ukirannya keren-keren. Semua
dijajal di galeri dan rumah warga yang berhadapan dengan jalan. Sampe akar
pohon yang segede maha gaban itu juga ada. Entah untuk apa akar-akaran itu.
Melintas beberapa ratus meter
kedepan, perkampungan berubah dengan pahatan batu. Sepanjang jalan
semuaaanyaaaa pahatan batu. Bentuk patung dewa, budha, tembikar. Dari ukuran
kecil sampe melewati tinggi rumah. Nggak ngerti deh gimana ngangkutnya kalo ada
yang beli.
Melintas lagi, ada perkampungan yang jual lukisan. Semuanyaaa jual lukisan. Di galeri, halaman rumah, berjubel lukisan warna warni. Sesekali juga ada perkampungan yang jualan kaca cermin. Jualan layang-layang berbentuk aneka rupa. Bahkan kerajinan perak juga ada. Wadow!!!
Memang di Bali ada beberapa lokasi yang dipisah berdasarkan kampung
adat. Apa juga termasuk yang ginian? Entah! Tapi yang pasti aku melongo kagum.
Kagum dengan masyarakatnya yang kreatif gila,
kagum juga dengan pemerintahnya yang mau mengatur sedemikian rupa sampe
warganya patuh berbudi luhur kayak gini.
Sampe-sampe kami saling
berseloroh, “kayaknya kalo di Bali jadi tukang ukir kayu udah bisa sejahtera
kali ya,”
“Ho’oh, kalo di kampungku yang
namanya kerjaan itu PNS atau orang kantoran,”
Bisa jadi sih. Gara-gara industri
kreatifnya hidup, wisatanya makmur, segala profesi bisa menunjang kesejahteraan
hidup. Masyarakatnya bisa nyambung nyawa walaupun cuma mukul-mukul batu tiap
hari, ataupun nyongkel-nyongkel kayu. Mungkin yang ginian perlu dicontoh sama pemimpin
daerah lain.
Pelan-pelan kami masuk ke kecamatan
Ubud. Jalanan masih sepi. Di kiri jalan lagi ada kondangan warga. Musik gamelan
Bali membahana. Baru kali ini juga aku lihat janur besar dan ribetnya nauzubillah di gapura rumah warga. Hehehe...
Bali memang terkenal dengan seni janurnya yang keren. Bahkan sewaktu aku makan
siang di warung Padang, aku melongok dari warung ke bangunan di seberang.
“Itu apaan?” tanyaku.
“Oh itu pasar,” sahut si mbak
sambil nyendok-nyendok kuah.
“Trus yang kuning bergantungan
itu apaan?”
“Oh, itu janur dari pelepah
rotan,”
Oaaalllaaa, orang jual janur kok
bisa satu pasar. Janur bergantungan di dalam-dalam ruko. Satu pelajaran
berharga dapat lagi. Kayaknya yang jualan
janur juga makmur di Bali. Hihii...
Ubud suasana lebih teduh. Di
bandingkan di beberapa tempat di Bali, nilai tradisional di Ubud lebih berasa. Bule-bule
naik sepeda. Warga jalan sambil pake baju adat. Kebaya dengan kain melilit
sarung. Kaum Bapaknya pake udeng,
lilitan kepala. Mereka jalan sambil bawa nampan yang penuh sesajen sembahyang. Lha, kok mirip kayak di FTV-FTV yaaa..
Cuma perempuan bawa susunan
buah-buahan di kepala aja capek kucari nggak ketemu-temu.
Aura FTV nya makin berasa sewaktu
Pak Andi melewati jalanan sepi Ubud.
Kanan kiri berjejal galeri seni yang merangkap rumah. Hampir semua tempat ada
galerinya. Dari pintu yang terbuka aku melongok, rupanya dibalik pagar rumah
yang tinggi ada halaman luas. Bangunan besar ditengahnya. Kebanyakan galeri
lukisan dan tempat nari-narian. Haduh, teringat film Perahu Kertas.
Karena buru-buru dan repotnya
liburan rame-rame yang kadang-kadang nggak sevisi, nggak satupun galeri itu
kami sambangi. Arrggttthhh...
Pak Andi balik arah, melaju
menuju wisata lainnya. Iseng aku tanya, “Pak, tempat acara Ubud Writers itu dimananya ya??”
“Oh itu, lha jaraknya sedikit
lagi. Cuma 10 menit dari tempat kita tadi,” ujarnya yang ternyata pernah
mengantar salah satu penulis beberapa tahun silam.
Hah!! Mobil makin melaju jauh.
TIDAKKKKKKKK... gagal lageee. Kepingin
balik, tapi takut nggak keburu tempat lain. Ya udahlah usap-usap dada.
Pak Andi akhirnya merapat ke
sebuah bangunan. Hari makin siang dan terik. “Kita shalat dzhuhur dulu ya!”
katanya.
Semobil kami semua melongo heran.
Shalat?? Celingak celinguk kanan
kiri. Mana masjidnya? Dia turun dan
kami mengikuti dari belakang. Lha, kok ke
cafe?
“Mana mesjidnya Pak?
“Itu!” sahutnya sambil menunjuk
gang kecil yang muat satu badan. Letaknya mepet dengan dinding yang kalo lihat
sekilas nggak kelihatan.
“Disini nama masjid disamarkan jadi bangunan
serba guna,”
Berempat kami bertatapan. Berempati
merasakan kaum minoritas.
Sambung #Bali 7
abang enak bnyak jalan-jalan bnyak tulisan. (p)
BalasHapustapi klau nulis perjalanan gini, kyak ikut mrsakan juga jlan-jlannya... wlau cuma lwat bcaan. (h)
terimakasih dek isni..
Hapusdek Isni enak ada kebun, kami nggak ada pa2.. ;-( ;-( ;-( ;-( ;-(
@-)
Hapusudah kubaca fer
BalasHapustrus?
Hapussaya juga (udah baca)
BalasHapus(c)
kok keluar c aja ya padahal pas klik emoticon coffee sepertinya disuruh buat lambang itu --> (c)
BalasHapusohooo nggak boleh dispasi terlalu jauh ... kira-kira bangunannya ada mirip-mirip nggak arsitekturnya dengan Masjid Lama Indrapuri ? Kan masih ada pengaruh arsitektur Hindu di situ? ...
BalasHapusnggak mirip.. bentuk bangunannya candi kyk di tipi2. hehehe
Hapushmmm, oleh-oleehnya kuraaaang. Hahahahhaa *komen nggak nyambung
BalasHapushahahahhaha.... backpacker korban Vietnam kak. Hana peng..
HapusEntah kapan bisa cuma numpang lewat ke Bali lagi? #eh
BalasHapusHayooo kyyy
Hapusbelum pernah ke bali ;(( jadi pingin ke bali :))
BalasHapusditunggu sambungan tulisannya
mantap blognya, tulisannya juga banyak dan bagus pula temanya :p
wuih udah hebat blognya udah hampir 35 ribu pengunjung (h)
hahhahahaa.....kak lisa lebih hebatlahh..
Hapuskeliling Eropa udah kemana-mana..