Aku menunggu Nuril dan Junaida di lobi hotel. Bertiga kami berangkat ke pantai Kuta. Ternyata jaraknya tak terlalu jauh. Hanya berkisar 15 menit perjalanan. Bertiga kami menyusuri jalan yang padat sore itu.
Melewati beberapa hotel berbintang dengan konsep alam.
Beberapa penunjuk jalan memudahkan kami untuk menuju ke pantai Kuta. Melewati
lorong panjang sempit, kami tiba di tepian pantai. Pertama kali tiba aku heran.
Beuhh, kok pantainya penuh karang?
Pecahan karang betaburan menyulitkan untuk berjalan. Ombaknya
juga kecil, dan pantainya sedikit sepi. Lha,
Kuta kok gini?
Ternyata Nuril dan Junaida kali kedua mereka menunggu
sunset. “Kalau di sebelah sana lebih rame bang. Suara musiknya besar!” Junaida
menunjuk kearah kanan tempat kami berdiri.
Dari batu pemecah ombak yang menggunung, aku melihat keujung
sana. Wuiiihhh, ternyata disana toh pusatnya! Ratusan orang memadati bibir
pantai. Sayup-sayup suara berdegum terdengar. Cahaya lampu juga lebih semarak
ketimbang tempat kami berdiri.
Rupanya disini seperti perbatasan antara dua pantai yang
berbeda. Disebelah kananku pantai Kuta, dan disebelah kiri pantai Jerman. Dan
kami berdiri ditengah-tengahnya. Pantesan
sepi gini. Mana banyak karang lagi...
“Kalau disana bersih bang. Kayak disapu gitu pasirnya,”
lanjut Nuril.
pantai Kuta |
Berdua beberapa hari lalu mereka menunggu sunset di pantai
Kuta yang bejibun orangnya. Karena ketinggalan melihat matahari tenggelam sempurna,
hari ini Nuril dan Junaida kembali menunggu sunset.
Dari atas batu pemecah ombak kami lesehan. Bernorak-norak
ria sambil ganti-gantian foto. Makin repot sewaktu ingin foto bertiga. Menaruh kamera
diantara batu-batu cadas. Sedikit tersenggol, blasss langsung masuk ke dalam celah-celah batu.
Hampir satu jam aku, Nuril, Junaida duduk menunggu matahari
tenggelam perlahan di tengah lautan. Sayup-sayup terdengar adzan dari masjid
diujung sana. Suaranya saling bersahutan dengan degum musik.
Menunggu sunset ternyata menjadi hiburan paling ditunggu
disini. Ketika munas FLP usai. Rara, Fadli (FLP Sumut), dan Adit (FLP Riau)
kembali mengajak menunggu sunset di pantai Kuta. Maka aku menyanggupi lagi.
Seperti halnya Nuril dan Junaida, ini kali kedua aku
menunggu sunset di Kuta. Tapi kali ini berlainan tempat. Kami menuju ke tempat
yang diutarakan Junaida. Di lokasi paling rame di Kuta.
Berhubung rame, menuju kemari kami menumpangi taksi. Rupanya
pantai Kuta dipagari tembok tinggi disekitar pantainya. Tembok ni membatasi
dengan jalur jalan diluarnya. Kata pak Made, sopir taksi, tembok ini sengaja
dibangun. Soalnya kalau angin kencang, pasir pantai bisa terbang menutupi
jalanan.
Berempat kami masuk lewat pintu gerbang yang tak jauh dari
Hard Rock cafe Kuta. Ketika masuk dan menginjak pasir kasarnya...
jreenggg...jreeenggg... pantai ala-ala Bali langsung kerasa. Kami melongo
di depan gerbang. Di depan kami bejibun wisatawan dengan pakaian minim!
Arrggghhhttt...
Kami berdiri lama. Nggak tau harus kemana. Rara satu-satunya
cewek di rombongan ultimatum, “kalian nggak boleh kesana!” tunjuknya kearah
pantai.
Lha, mau lihat
sunsetnya gimana donk? @_@
Berempat kami kayak rombongan penumpang ketinggalan bus.
Cuma melongo. Bule-bule berseliweran. Asoy geboy masa’ bodo! Yaellahhh..
Pantai Kuta |
Yang lokal juga nggak mau kalah sama yang bule. Akhirnya
kami lebih memilih menyusuri sisi pagar pantai. Urung berjalan di tepian laut. Ratusan
orang bejibun dengan berbagai polah dan kegiatan. Padahal kalau boleh jujur,
pantainya juga biasa-biasa amat.
Pasirnya kasar dan kecoklatan. Kalo ketinggian ombak nggak
kalah jauh dengan pantai Lampuuk, Banda Aceh. Mungkin disini cuma menang
fasilitas aja.
Ternyata cuaca terik sore ini. Tempat berteduh juga nggak
tau mau dimana. Lagi melongok-longok. Jiiiiaahhhh... diujung sana ada payung
pantai yang nancep. Bayangan payungnya miring beberapa derajat. Bisa nich numpang teduh.
Berempat kami menuju kesana. Selonjoran di bayangan payung
untuk nahan terik. Hehehe hemat dah!
Rupanya ditempat sama juga ada penduduk lokal. Yuli. Wanita
paruh baya asal Sulawesi ini udah 15 tahun tinggal di Bali! Bersama Ibu dan
putranya dia juga numpang nongkrong di bayangan payung. Hihihih Indonesia banget cari gratisan.
bernorak-norak gembira |
Rombongan kami akhirnya menunggu sunset. Ngalor ngidul
ngomong ini itu.
“Disini nggak boleh ada pedagang makanan atau tenda-tenda.
Cukup minuman aja. Kalo ada tenda makanan pasti jorok,” ujar Yuli membuka
percakapan.
Mataku langsung berkeliaran memastikan omongannya. Benar aja, hampir seluruh kawasan pantai nggak ada
tenda makanan atau terpal palastik yang biasa ditarik amburadul khas pedagang
Indonesia. Wisatawan cum berselonjoran di bawah tenda serupa cafe. Kursi yang
jumlahnya nggak banyak itu disusun seberapa aja. Selebihnya memilih duduk di pasir.
Kayak kami.
Dari obrolan Yuli juga aku tau ternyata tenda-tenda ini
mematok harga sewa tinggi!
“Harga sewanya setahun bisa sampe 10 juta,” lanjutnya bikin
aku berdecak. Gimana capat untungnya??
Soalnya pemilik tenda
rata-rata hanya jualan minuman. Selain minuman bermerk juga ada beralkohol yang
beredar bebas disini.
“Dulunya sempat ada yang jual bakso, siomay, nasi goreng, sampai
ada gerobak makanannya. Tapi diprotes sama wisatawan soalnya bikin jorok. Orang
kita yang jualan, lha semua sisa
makanan langsung ditumpahin ke pasir,” lanjutnya.
Aku mengangguk. Pantesan
pantai Kuta ini bersih. Secara view,
menurutku pantai Lampuuk, Aceh jauh lebih indah. Pasirnya putih dengan ombak
bening. Belum lagi tebing yang melingkar disisiannya. Tapi disini pasir pantainya
sedikit kecoklatan dengan butiran kasar. Namun fasilitas pendukungnya jauh
lebih maju. Bikin manja pengunjung.
pantai Lampuuk Aceh (foto: okezone.com) |
pantai Lampuuk Aceh (panoramio.com) |
Sekitaran pantai Kuta juga berdiri puluhan Hotel berbintang
dengan kios-kios souvenir. Dilengkapi fasilitas pendukung lainnya. Beberapa
sudut juga ada area bilas untuk pengunjung. Papan seluncur tertancap tegak di
tengah pasir. Turis asing tampak bebas. Berjemur atau berenang nggak risih
dengan busana minim.
“Disini kalo setiap paginya ada yang nyapu pantai” ujar Yuli
ketika kusinggung tentang bersihnya pantai. Rupanya harga sewa tenda yang
tinggi diputar untuk mengelola kawasan pantai.
Sesekali ia menghardik putra kecilnya yang bermain pasir
dalam bahasa Inggris. Rupanya Yuli bersuami pria Australia. Hal jamak sering
terjadi di Bali. “Disini anak-anak TK sudah diajari bahasa Inggris. Yang nggak
bisa sekalipun pasti bisa soalnya rame bule,”
Beberapa wanita paruh baya dengan topi lebar melintas.
Tangan mereka gemerincing jualan pernak-pernik. Sebagian menjajakan pijat
tradisional. Wajah mereka legam disengat matahari.
“Kalau souvenir disini lebih murah atau lebih mahal?”
tanyaku kepingin tahu.
Yuli langsung menggeleng, “Disini yang jualan serba mahal.
Kalo diluar bisa dapat sampe lima, disini satu biji belum tentu dapat,”
Senja makin jingga. Matahari tampak utuh sempurna.
Pelan-pelan turun hingga menyentuh lautan. Ratusan pengunjung mendekat kearah
pantai melihat matahari yang pelan-pelan menghilang. Cahayanya memantul di tengah
ombak besar. Puluhan peselancar tak bergeming di tengah laut. Makin ajib.
sunset (foto: Nuril Annissa) |
Semakin larut kami pamitan. Berjalan kearah berbeda. Melihat
suasana malam di Kuta. Juga melongok penangkaran penyu yang berada ditengah
taman. Walaupun malam, ternyata pantai tetap rame. Lampu menyala terang.
Berbicara Kuta, aku jadi teringat bom Bali 2002 silam. Rupanya
letak Legian tak terlalu jauh dari pantai Kuta. Hmmm...tertarik untuk kesana!
mantap liiii :D
BalasHapusalhamdulillh akhirnya udah sehat lagii ;-(
HapusPengeennn ke sanaa bang....
BalasHapus