Teringat omongan Ariel, katanya PKA itu bisa jadi semacam miniatur/representatifnya orang kita. Apa jorok, dangdutan, geol-geol, keung kueng, susah diatur, bakai, nggak disiplin akhirnya jadi cerminan kita? Hom lahh... Padahal berharap besar, ajang ini bisa mengedukasi kita tentang apa itu berbudaya baik.
Malam minggu kemarin (21 sept),
aku dan Birrul ke Pekan Kebudayaan Aceh (PKA). Sebenarnya niatan ini udah ada
sejak hari pertama PKA berlangsung. Berkumpul di sekret FLP kampung Pineung
kami menuju ke Taman Sulthanah Safiatuddin. Sekilas taman ini menyerupai Taman
Mini Indonesia Indah, ada anjungan dari setiap kabupaten/kota di Aceh.
Singkatnya disana miniaturnya Aceh.
PKA adalah acara empat tahunan
Pemerintah Aceh. Setahuku acara ini telah ada sejak tahun 1958. Karena konflik
panjang di Aceh acara seni budaya ini nggak mampu berjalan rutin. Sekarang saja,
tahun 2013, baru gelaran keenam.
Foto Gun Gunawan |
Ribuan orang memadati malam itu.
Karena terlalu merayap, sepeda motor kuparkir di Masjid Albadar yang jaraknya
mungkin 1 KM dari tempat PKA berlangsung. Berjalan menuju kesana menerobos
kerumunan warga. Jalanan macet. Mobil, motor tumpah ruah. Makin diperparah
dengan parkir sembarangan.
Berdecak melihat kerumunan ribuan
orang malam itu. Soalnya PKA ini bukan acara hiburan standar kebanyakan. Disini
orang bakal berbondong-bndong melihat atraksi tarian Aceh, nyanyian daerah,
syair, adat perkawinan, hingga pameran purbakala dengan kendi-kendi zaman dulu.
Sampai pelaminan hajatan kawinann juga ada.
Komplit?? Sangat menurutku!
Maka nggak heran dari sekian
banyak acara di Aceh, ajang PKA yang paling ditunggu.Warga rela berdesakan. Hadir
ke Banda Aceh dari desa mereka di pelosok. Seperti malam itu, aku melihat
puluhan truk, bus, mobil besar mengangkut puluhan orang.
Sangking padatnya, seorang Ibu
nyeletuk di belakang, “ka lagee ek haji
(udah kayak naik haji)”
Aku dengan Birrul menerobos
kerumunan manusia. Berusaha cari jalan pintas dari tepian sungai. Namun ada
ribuan orang yang berpikir serupa. Tetap juga macet.
Dan kemeriahan PKA makin heboh
dengan jajanan kaki lima. Mau jalan kesini keserempet dagangan. Mundur dikit,
eh kena juga. Kesana lagi, ya ampun nyenggol juga!
Arrggghhtt... inilah orang-orang
kita. Lahan untuk dagangan udah diberi, tapi tetap juga hobi buka lapak di
tengah jalan.
ini makanan paling legenda kalo pasar malam |
Tong setan, bianglala berputar
ditengah kerumunan. Teriakan bersahutan disana-sini. Kepingin lihat juga tong
setan yang meraung-raung. Berhubung ramai, niatan itu terpaksa diurung. Aku dan
Birrul segera masuk ke komplek PKA yang jaraknya beberapa meter lagi. Warga makin
padat. Macet!
Sangking susahnya masuk ke
komplek PKA, aku dengan Birrul lompat pagar disisian mushalla. Dan hap!! Akhirnya,
tibalah kami di komplek yang makin menggila.
Ribuan orang padat merayap.
Padahal malam terbilang larut, sudah jam 22:30 WIB. Suara riuh terdengar
dimana-mana. Masing-masing anjungan kabupaten/kota sibuk dengan suguhan mereka.
Suasana makin seperti pasar malam. Pusat informasi berulangkali berhalo-halo
memberi kabar tentang kehilangan anak.
Langkah pertama kami ke anjungan
kota Banda Aceh. Selaku warga kota yang baik, kayaknya harus datang ke anjungan
sendiri. Tapi sesampai disana... Ooooo... padaatttttt...
Orang-orang berdesakan di pintu
masuk. Makin parah, sebab disudut
anjungan ada hiburan. Makin ramelah kayak laron kerubuti lampu minyak.
“Nggak usah aja Rul, rame kali. Buka
sandal lagi,”
Kami berdiri di depan anjungan.
Ternyata pengunjung yang ingin masuk harus melepas alas kaki. Haduh, bisa
berbahaya. Keluar-keluar malah hilang. Nyeker dah pulang ke rumah.
“Besok aja Bang, kalo sepi baru
kita masuk ke anjungan,” Birrul beri usulan. Kami berbalik arah.
Di stand Aceh Selatan juga baru
selesai gelar pertunjukan tarian. Walaupun udah selesai, rupanya orang-orang
masih berkerumun. Mungkin galau mau lewat mana lagi, soalnya makin rame.
Menyelamatkan diri, akhirnya aku dan Birrul masuk ke anjungan Aceh Selatan.
Walaupun alas kaki dibuka, kita bisa bawa masuk ke dalam sambil
nenteng-nenteng.
Alasan panitianya baek, biar
anjungannya nggak kotor. Soalnya kebanyakan anjungan full karpet. Terlebih
pelaminan pengantin terpampang besar dalam anjungan. Bisa jorok, kalo diduduki
sambil pake sandal.
Kepadatan makin menggila.
Sahut-sahutan suara entah dari mana bertalu-talu. Bercampur antara musik, tarian,
syair, informasi kehilangan anak, dan... dangdutan!
Hah! Dangdutan!!
Aku melihat kerumunan orang di depan sebuah panggung. Teriakan ala nonton
konser juga terdengar. Terlebih sebelumnya dua gadis yang suaranya pas-pasan
nekad naik. Musiknya kemana, dianya nyanyinya kemana. Daripada menanggung malu
hingga keturunan ketujuh, dua gadis itu langsung turun panggung. Sebagian
pengunjung tertawa. Bisalah untuk
hiburan.
Ibu-ibu yang pasrah untuk nonton. heheh |
Eh, ternyata penggantinya juga
gak lebih baek. Seorang bapak berpostur tambun naik pentas. Dia nyanyi semangat
sampe perut besarnya berguncang hebat. Aku yang nonton jadi ketakutan. Takut
kalo ususnya terburai kemana-mana. Makin naas, yang nonton juga sedikit.
Orang-orang malah pergi saat si Bapak makin kalap diatas panggung. Cuma
sebagian ibu-ibu yang selonjoran di depan panggung. Ntah mau dengar dangdutan,
atau istirahat capek mutar-mutar.
Kami beranjak lebih kedepan. Cuma
selemparan batu di anjungan berbeda, juga ada panggung musik. Aku-Birrul sempat
berdiri lama disini. Soalnya suara penyanyinya bagus. Si Eneng di atas panggung
dengan tampilan anak kampus nyanyiin lagu band nasional.
Suaranya merdu. Orang-orang makin
numplek. Biarpun ekspresinya datar, tapi timbre suaranya khas. Pitch controlnya
juga bagus. Beberapa nada berhasil dinyanyiin sempurna. Kalo aja oktaf suaranya
naik seperempat kilo, mungkin suaranya lebih membahana. #kesurupan Trie Utami.
Orang-orang bertepuk tangan.
Selepasnya naik seorang bapak berambut kribo massal. Eh, rupanya dia MC nya.
Dengan suara bariton membahana, dia memanggil penyanyi selanjutnya.
“SEKARANG MARI KITA SAMBUT. INI
DIAAAA!!!!!!!”
Bayangin aja, si Bapak suaranya
udah menggelegar. Kurasa kalo nggak pake mic keujung jalan sana juga
kedengaran. Udah suara gede, pake mic, berteriak, ditambah soud system segede gaban di kanan kiri panggung.
Arrggggghhhhtttt... Aku yang
didepannya langsung semaput.
Arght, udah pake mic masih aja tereak-tereak!!!!
Demi keselamatan jantung, aku dan
Birrul segera angkat kaki. Eh, baru berjalan beberapa meter ada lagi live music. Ajib gile dah!
Kali ini di sebuah stand. Lumayan
kreatif sih menurutku. Yang hobi nyanyi silahkan masuk, trus nyanyi-nyanyi di
dalam sana. Ada kameraman di dalam yang shoot.
Muka si penyanyi langsung tampil di TV plasma di luar stand. Jadi serasa kayak
live dari studio tv mana gitu. Orang-orang sekitarnya kegirangan. Kurasa mereka
saudara dan handai taulan si penyanyi. Si Eneng di dalam nyanyiin lagu
Rihana. Serasa kayak ikut ajang Faktor X dan Y di negara mana gitu.
Hebat ya, Rihana bisa muncul di PKA. @_@
Bayangin baru jalan berapa meter
udah ada berapa panggung musik bertalu-talu. Yang bikin sedih di stand MAA
(Majelis Adat Aceh). Kurasa sepanjang lorong yang barusan lulewati, kayaknya
baru ini nilai keAcehannya kuat dan masuk akal dengan even PKA.
Di stand ini beberapa penyair
berhikayat dan berbalas pantun. Ratusan orang berkerumun. Tapi kasihan, sound
systemnya kalah nendang dari live music sebelahnya. Jadi tenggelam dalam
modernitas.
Aku dan Birrul geleng-geleng
kepala. Kok gini ya?
Untuk menyelamatkan jiwa dan
kegelisahan kami, akhirnya mampir ke stand Pariwisata dan Kebudayaan.
Asyeeekkk... ntah kenapa sejak dulu aku paling suka dengan stand ini. Makin
jatuh cinta sebab Pemda dan Pemkot mulai sadar wisata. Jadi di stand ini selain
bisa tau potensi wisata, juga ada puluhan brosur yang kerap kuincar. Biasanya
ini kusimpan untuk bahan nulis suatu saat nanti.
Ketika keliling-keliling, Birrul
dibuat kaget!
“Bang!!” teriaknya. Aku memaling,
terpana nyaris tersedu-sedu.
Birrul selama ini lagi cari
tambatan hatinya yang hilang ribuan tahun lalu. Ternyata tak disangka bertemu
di stand ini! Langsunglah moment mengharukan ini diabadikan lewat handphone.
Makin sedih ternyata tambatan hatinya telah dikutuk dan diawetkan jadi mumi
nyaingin fir’aun. Berat hati kami meninggalkan gadis itu. Mukanya berubah pucat
pasi ketika kami tinggalkan. Gak rela. Kasihan...
Birrul dan kekasihnya |
Lanjut lagi, kami singgah ke
anjungan Aceh Barat berbentuk rumah panggung. Karena harus (lagi-lagi) buka
alas kaki, akhirnya cuma bagian kolong rumah kami jelajahi. Sempat kagum,
soalnya anjungan ini nggak ada live musik. Padahal di sudut halamannya ada
panggung yang lumayan lebar. Gara-gara nggak ada live musik, kita yang lihat
pameran juga lebih enjoy nggak terlalu bising. Ataupun nggak ada kerumunan
warga yang terpecah gara-gara dengerin musik. Jadi lebih fokus untuk melihat
dan mencari tau tentang budaya sendiri.
Begitu keluar dari sana.
Sayup-sayup terdengar lagi suara hentakan. Bising. Aku dengan Birrul celingak
celinguk. Di sebuah stand di ujung sana, kerumunan orang berdesak-desakan.
Penasaran kami mendekat.
Oh Tuhan, bukan cuma orangnya aja
berkerumun di bawah panggung, tapi juga di atas panggung!! Semuanya bergeol-geoll dangdut!
Ya Rabbi, sejak kapan dangdut
jadi budaya kami??!!! Arrggghhtttt....#korek-korek
tanah
aku tarik nafas dulu. sejak dibuka hari jumat aku belum pernah pergi. trauma kudengar cerita banyak orang.. mungkin hiburan taman sultanah safiatuddin memang dibuat untuk menghibur masyarakat yg haus hiburan, so mau dangdut, koplo, rock nikmati itu sebagai "budaya".
BalasHapusJustru pada PKA yang akan datang bikin aturan yang jelas agar citra PKA tidak mengambang merambas membawa daki-daki zaman edan.Tentu ini program Pemerintah Aceh dan tokoh-tokoh budaya pada MAA. Selamatkan citra budaya dari ketidaktahuan dan kegalauan, kalau tidak mau disebut kebodohan!
HapusBeginiah kalo acara budaya dibuat asal jadi. marwah2 daerah jeut rhet...
Hapusapakah abang ada bertanya kpd mereka mengapa dangdut yg ditampilkan, mungkin saja itu memang budaya lokal mereka yg kita tidak mengetahuinya
HapusSaya nggak pernah mendengar dangdut bagian budaya Aceh. kalo itu kebiasaan mereka disana, bukan berarti langsung diambil menjadi budaya setempat. Saya rasa budayanya kuat. mampu menfilter kebiasaan2 luar yg gk baek. cuma terkadang orang2 kita yang masa bodo atau cepat terpengaruh...
Hapusaku suka blog ini ahahahhaha...i love dangdut *lol *cabutUpil :3
BalasHapushehehehhee... terimaksih sudah mampir..
Hapusyaelaaaahh.. kangen amat ama pka... yaa,.. yg penting kita gk terpengaruh aja deehh.. :D
BalasHapus