cerita sebelumnya Around to the Bali & Bandung
Taufiq berjanji menjemputku di Ngurah Rai. Sebelum terbang ke Bali aku sudah sering kontak-kontakan dengannya. Sambilan minta izin numpang tidur semalam sebelum check in ke Hotel sebelum Munas FLP.
Pendaratan di Ngurah Rai tepat
pukul 21:00 di layar handphoneku. Suasana Bali langsung terasa. Beberapa sudut
batu alam memenuhi ruangan bandara. Brosur-brosur wisata tersusun rapi di etalase. Di
sudut berbeda, belasan counter money
changer berbaris rapi. Didepannya beberapa sesajen tergeletak di depan
pintu. Bentuknya unik. Terbuat dari pelepah kelapa berbentuk kubus. Didalamnya
bertaburan bunga berwarna warni. Bau dupa semerbak.
Aku berjalan beberapa meter ke
depan. Janjian dengan Taufiq di sebuah mini market. Celingak celinguk sebentar
dan bertemu dengan mahasiswa perguruan itu. Rupanya dia udah nunggu lebih dua
jam di bandara!
Ooaalaaa... baru nyadar ternyata
di tiket ketibaan dalam Waktu Indonesia bagian Barat. Lha disini kecepatan satu jam.
Dengan sepeda motor, bersama
Taufiq aku menembus malam kota Tuban menuju Denpasar. Jaraknya berkisar 30
menit perjalanan. Selama di sepeda motor diskusi pun ngelantur kemana-mana.
Mulai pembangunan Bali yang dahsyat, kehidupan beragama, budaya Bali, hingga
pemilihan Miss World yang kontroversi.
“Kalo di Bali muslim mungkin cuma
13% bang. Tapi kalo di Denpasar lumayan rame,”
Maka selama perjalanan menemukan
masjid pun sulit. Pura dengan berbagai ukuran memenuhi sudut- sudut tempat
termasuk halaman rumah. Keagungan patung dewa disini dipuja tinggi. Ajaran
Hindu melekat kuat sebagai agama mayoritas.
Tempat sembahyang |
Taufiq mengabarkan ketika kami
melewati bypass yang baru selesai
dikerjakan. Dulunya kawasan ini padat ketika jam sibuk. Rencana akan dibangun flyover, tapi berhubung bersisian dengan
patung Dewa yang berdiri tegak dipinggirnya, lajur diubah menjadi bypass.
“Kalau dibangun flyover, ketinggiannya menyamai dengan
patung dewa. Jadi diubah jadi jalanan bypass,”
ujarnya sambil menunjuk patung Dewa yang berwarna putih.
Di Bali juga tidak ada bangunan
pencakar langit. Sebagai area wisata international untuk bangun gedung pencakar
langit pasti sangat mudah. Investor bejibun. Ternyata disini punya peraturan,
tinggi bangunan tidak boleh melebihi ketinggian pohon kelapa. Jadi maksimal cuma
3-4 lantai. Kearifan lokal ini diberlakukan biar pura-pura yang berdiri nggak
kelelep dengan modernitas metropolitan bangunan gedung.
Dan ajaibnya ini dipatuhi
masyarakatnya Bali! Wuiiihhh...
Jadi ingat dengan kearifan lokal
serupa di Banda Aceh; bangunan tidak boleh melebihi tinggi menara Masjid Raya
Baiturrahman. Untuk banyak hal, peraturan begini selayaknya patut diadaptasi.
Teringat dengan kondisi Masjid Agung Medan yang kelelep dengan tinggi
menjulangnya sebuah mall yang ada dibelakangnya. Jadi kasihan lihatnya.
Menurutku pembangunan Bali
mahadahsyat. Selain pembangunan jalur bypass,
airport Ngurah Rai juga dalam tahap perluasan. Bangunannya besaaarrrr dan
luaasssss. Lahan parkirnya dibangun dengan konsep layaknya taman gantung. Belum
lagi pembangunan jalan tol yang membelah lautan.
lahan parkir bandara (foto: Junaida M) |
Di kawasan Teuku Umar akhirnya
aku tiba. Memasuki rumah merangkap asrama teman-teman mahasiswa disana harus
melewati lorong kecil yang panjang. Berdiam diri semalam hingga menunggu pagi
esok harinya.
Ketika pagi aku bingung harus
kemana. Dengan beberapa teman FLP dari propinsi yang kebetulan nginap disana
juga, kami memilih berkeliling mencari souvenir khas Bali.
Jiaaahhh... pagi-pagi nyari oleh-oleh.
Kami menuju ke pusat belanja
Erlangga. Selain Krishna atau Jogger, Bali juga ada outlet souvenir Erlangga
yang konon lebih murah ketimbang tempat lainnya. Kami memutuskan berjalan
ditemani Awan , salah satu penghuni asrama.
Ketika mendekati perempatan aku
sempat bingung ketika melihat Ibu-ibu dengan penampilan rumahan duduk lesehan
di kursi trotoar jalan. Tangannya menenteng koran-koran. Sekilah ini ibu-ibu
agak ogah-ogahan jualan koran. Lha, loper koran biasanya harus hiperaktif
nyamperin satu-satu mobil.
“Ibu-ibu ini lagi nungguin yang mau
jual emasnya bang,”
Hah! Tajir benerr...
“Jadi dia nampung beli emas?!”
aku makin takjub. Gilee... beli emas
pinggir jalan.
Ketika sampai di ruas jalan
Diponegoro, Ibu-Ibu Emas ini makin rame. Jaraknya pun makin berdekatan.
Duduknya nyantai aja sambil dekap tas mungil. Kurasa uangnya bergulung-gulung
di dalam sana. Disepanjang jalan ini juga kulihat beberapa warga sembahyang di
pura-pura kecil di halaman kantor atau rumahnya. Indah sekali.
Ibu-Ibu Emas dari jauh |
Hingga sejurus kemudian seorang pembeli
datang. Aku melihat seksama transaksinya. Pembeli membawa giwang berukuran kecil. Lalu Ibu Emas
mencelupkannya ke dalam gelas kecil berisi entah cairan apa. Mungkin mau lihat
kadar keasliannya. Jika setuju maka si Ibu Emas memberi secukup uang sebagai
gantinya.
Keren ya! Jual emas di trotoar. Asyeeekkk...
Menjelang siang aku dijemput
panitia Munas FLP menuju Hotel Green Villas di daerah Kuta (tulisan Munas FLP akan ditulis
terpisah). Pembahasan dalam perjalanan pun tetap tentang Bali. Rupanya
Bali termasuk kawasan aman dari pencurian. Disini jarang terjadi curanmor. Pantesan teman-teman asrama enteng banget
parkir motor diluar rumah.
“Masyarakat disini punya keyakinan
kalo nyuri barang bukan haknya bisa kena karma. Langsung dibalas dengan
kesalahan serupa atau sewaktu meninggal nanti bisa berubah menjadi monyet,”
Ternyata keyakinan ini dipegang
teguh. Motor diparkir sembarangan ngak masalah. Benar-benar cocok menjadi
kawasan wisata andalan. Sebab yang namanya keamanan jelas jadi kebutuhan utama
bagi pendatang. Terlebih bagi pendatang menyewa sepeda motor jadi andalan di
Bali. Gila aja, kalau baru nyewa eh tiba-tiba motornya malah digondol maling.
Malah bikin repot.
Bahkan untuk lintasan lalulintas
termasuk tertib. Nggak ada tuh, yang nerobos lampu merah walaupun jalanan
lengang.
“Walaupun tengah malam, masyarakat
disini tetap berhenti kalo lampu merah. Cuma bule-bule mabuk aja yang suka
terobos,” ujar panitia. Aku mengangguk-angguk takjub.
Dalam mobil aku memperhatikan
arus jalan yang padat siang itu. Mataku
terserobot dengan lilitan janur kuning di berbagai kendaraan yang melintas.
Ketika kutanya maksudnya, ternyata lilitan itu dikenal dengan nama tumpak landep.
Tumpak landep diartikan senjata
tajam seperti tombak atau keris. Dulunya benda ini difungsikan untuk menegak
kebenaran. Secara berskala benda-benda ini diupacarai dalam tumpak landep. Tapi sekarang
pengertiannya meluas. Tak hanya keris atau tombak tapi juga benda hasil karya
manusia seperti sepeda motor, mobil, mesin, komputer dan sebagainya.
Benda-benda ini turut diupacara. Mereka memohon kepada Ida Sang Hyang Widi
dalam prebawanya sebagai Sang Hyang Pasupati untuk menganugerahkan kekuatan
benda-benda tersebut demi kemudahan dan kelancaran hidup.
tumpak landep (foto: Junaida M) |
Maka berseliweranlah tumpak landep di beberapa motor dan
mobil. Bentuknya beragam dan unik-unik. Sebagian direkatkan di kaca spion,
dalam mobil, atau bumper.
Menjelang sore aku tiba di Green
Villas Hotel. Bertemu dengan teman-teman dari propinsi lain. Termasuk Nuril dan
Junaida (FLP Aceh) yang duluan tiba tiga hari lalu. Rupanya mereka udah
berkeliling kesana kemari dengan sepeda motor!
“Bang, kita lihat sunset di Kuta
yukk!!!” tiba-tiba Nuril telepon saat aku lagi ngetik di lantai empat.
Hmmm... ide menarik!
Kuta terkenal dengan pantainya
yang tersohor. Ribuan orang bejibun datang kesana, bahkan namanya melalang
hingga ke mancanegara. Penasaran, aku menyanggupi ajakannya.
“Yukk!!”
Baca cerita selanjutnya...(#Bali 2)
Oh, begini toh Bali!! :-d
BalasHapusOaalalaaa.. begene toh Baliii...
Hapus=p~
Wah,,catatannya lengkap..
HapusSiap menantikan sunset nya lo Mas.
BalasHapusSuasana Bali memang begitu, sangat nihil sekali kalau ada pencuria, beda sama kota kota lain kan?
Selamat datang di Pulau Dewata semoga senantiasa behagia.
Salam dari Kota Jember.
Siippp.. Insya Allah postingan keduanya besok mas Imam..
HapusWah, ikutan FLP yang di Bali kemarin itu ya, Fer? Pasti asyik dan seru banget deh ya? Bali, memang pulau yang menakjubkan, aman pula. ditunggu postingan berikutnya ya, Fer!
BalasHapusiya kak.. Munasnya cuma 3 hari tapi jalan2nya sampe seminggu. hehehhee..
Hapuswau.... Bali.... pulau para Dewata dengan keindahan alam, seni dan tradisi yang masih terjaga dengan baik. Dilanjut ..... Sob.
BalasHapusSalam wisata
Emang Bali ngangenin!
Hapussalam kenal..