Alun-alun PKA |
Aku akhirnya ke PKA lagi! Kali
ini dengan Ariel.
Niatnya untuk melihat hal
baik dari pergelaran empat tahunan ini. Semacam punya tanggung jawab untuk mengabarkan hal positif. Karena tak bisa dipungkiri (terlepas dari geeoolll dangdut), PKA memberi pengenalan tentang ragam
budaya kita.
Dibandingkan malam hari,
berkeliling PKA ketika pagi jauh lebih menenangkan. Nggak terlalu berdesakan
kayak naik haji. Leluasa berkeliling masuk kesana sini anjungannya.
Anjungan pertama kami singgahi
adalah kota Subulussalam. Anjungan ini kecil sekali. Baru masuk cuma ada
pelaminan saja. Di terasnya dipake untuk jualan benda-benda tempoe doeloe. Aku dan Ariel cuma melongo.
Nggak ada guide, panitia yang
menjelaskan ini itu. Bingung akhirnya kami turun dari rumah panggung itu.
Hanya bersebelahan, aku singgah
ke anjungan Pidie Jaya. Anjungannya besar berbentuk rumah panggung. Di kolong
rumah beberapa anak sibuk latihan nari untuk pementasan. Di anjungan ini, ada
miniatur yang bikin aku berdecak kagum. Miniatur Masjid Raya Baiturrahman yang
tersusun dari pecahan cermin.
motif kerawang (Bener Meriah) |
Disini aku juga nggak lama. Kami
bersegera pindah ke anjungan sebelahnya, Bener Meriah. Ntah kenapa dari semua
anjungan aku suka desain kabupaten area tengah Aceh ini. Motif kerawangnya
keren sekali. Dengan latar hitam dengan corak warna warni di permukaannya.
Kerawang ini terukir keren di pintu masuk anjungan Bener Meriah. Banyak
orang-orang rebutan foto.
Ketika melongok ke dalam. Yah,
sama juga kayak anjungan lain. Pelaminan berwarna ungu mentereng. Anak-anak
kampus grasak grusuk ambil foto. Sebuah bilik kecil di sudutnya. Di pegangan
pintu tersangkut pengumuman kecil “dilarang
masuk”. Masa bodo’ aku-Ariel celingukan ke dalam. Oohhh, rupanya kamar
pengantin!
Mengelilingi rumahnya yang lebar.
Ada dapur di belakangnya dengan susunan kayu bakar. Sebenarnya kepingin banyak
tanya. Mau tanya ini itu. Tapi berhubung guide/panitianya ntah kemana akhirnya
aku urung. Cari brosur juga kagak ada. Haduh!
Pelaminan (Aceh Pidie) |
Berjalan sedikit ke depan kami
mampir ke anjungan Aceh Pidie. Sempat heran, ni anjungan kok mirip aula ya.
Lebar menganga gitu. Baru masuk, blesstt...
lagi-lagi pelaminan terpampang nyata. Hadeuuuhhh.
Trus disudut sana sini ada kerajinan kayaknya dari Ibu-Ibu PKK. Kayaknya nggak
sampe 5 menit kami keluar. Nggak tau mau lihat apaan. Mampir ke anjungan di
sebelahnya, Bireuen!
Anjungan ini dari hari pertama PKA
kedengaran heboh. Media banyak ngeliput. Teman-teman di twitter, facebook
banyak berfoto-foto narsis disini. Dengar-dengar kalo malam disini semarak
sekali. Lampunya warna warni seantero anjungan.
Secara struktur aku suka
bangunannya. Besar sekali dan menjulang tinggi. Halamannya luas, ada taman
kecil. Di kolong rumah dipamerin hasil kreatifitas kabupaten. Juga ada brosur
yang kurasa sangat lengkap dan lux. Sebagai orang yang bukan terlahir disana,
brosur ini kurasa sangat penting. Terlebih info dari guide/panitia nggak aku
dapati. Lha, orangnya aja entah kemana-mana. Lewat brosur aku bisa baca
sendiri. Di brosur dijelaskan alamat penginapan di Bireuen, lokasi wisata,
bangunan bersejarah, bla...blaa...
Naik ke dalam rumah. Pelaminan
terpampang besar lagee. Di dalamnya ternyata sepi sekali. Bangunannya luas tapi
koleksi barangnya minim sangat. Panitia ngobrol di sudut, sibuk bercerita atau
bikin arisan? Nggak tau deh! Pengunjung
berlalu lalang melongok-longok sendirian. Nggak lama aku turun lagi.
Sempat kepingin mampir ke
anjungan Aceh Tamiang yang bangunannya kuning merona. Dengar-dengar selentingan
kabar, anjungan ini sering ada keybord kalo malam. Ntah iya. Tapi berhubung
pagi senyap sentosa.
Kuda dari paku (pameran seni rupa) |
Aku dengan Ariel akhirnya mampir
ke stand Pameran Seni Rupa “Kenduri Cipta”. Wuiihhh, stand ini keren sekali!
Dipamerin hasil karya berupa kain batik, ataupun pajangan berbentuk kuda yang
tersusun dari paku-paku. Juga ada foto karya Ibu Ani Yudhoyono.
Aku akhirnya mampir ke salah satu
anjungan berdekatan panggung utama. Disini aku lumayan lama. Soalnya anjungannya
dingin. Tanya ini itu sama penjaga yang standby.
Trus juga ada duta wisata yang bertugas. Setelah puas berkeliling, aku iseng
tanya ke duta wisata yang nyambut tamu sangat ramah.
“Eh, disini kalo malam ada
dangdutan nggak?”
“Oh ada bang, untuk hiburan...”
jawabnya bangga.
Blekk!! Untuk hiburan?? Maksud loh!
Aku langsung nepuk-nepuk punggung
Ariel dengan buku tamu. Hajar Riel. Hajar
Riel! Lahan basah ni!
Selaku pasukan anti penggeoollan dangdut di PKA, jujur jawaban dia bikin aku terhenyak. Masak duta wisata dukung
dangdutan di acara budaya? Argghhhtt...
“Untuk hiburan? Memangnya budaya
disana dangdutan?” tanyaku.
Dia gelagapan. Dengan suara
disetting bernomor duabelas, ia berusaha jawab teratur. “Cuma untuk hiburan
aja. Soalnya kalo kita disana banyak pendatang, ada dari Cina, Batak, Jawa,
Nias, blaa...blaa...”
“Jadi kalo mau hiburan harus
dangdutan? Tarian kan bisa? Disana banyakkan tarian daerah?” tanyaku beruntun. Jiiiahhh kok jadi cerewet yak!
Perhiasan Aceh (Nagan Raya) |
Ariel sesekali nimpali. Udah
kayak ujian skripsi dah akhirnya si duta wisata. Dia cuma senyam senyum.
“Bagusnya karena ini acara budaya
yang ditunggu empat tahun sekali, nggak usah pake dangdut-dangdutan. Kalo dangdutan
kita bisa nonton di tipi...” sambungku lagi.
Dia ngangguk-ngangguk. Kami pamitan.
Sampe diluar baru nyadar, kasihan juga dianya. Tapi nggak papa lah, setidaknya
aspirasi penggeooollan tersampaikan. Soalnya Duta Wisata itu kan iconnya daerah
yang menghimpun segala kreatifitas dan pikiran. Kalo dia sendiri nganggap
dangdut hal biasa disini, gimana dengan orang-orang yang lain? Hmmm...
Tapi tetap salut dengan Duta
Wisata itu. Soalnya keliling ke beberapa anjungan, nggak ada tuh duta wisata
yang standby. Atau aku yang datangnya
kepagian kali ya?
kerajinan dari kelapa (Sabang) |
Di anjungan Sabang aku juga
sempat berceloteh panjang dengan ibu panitia.
Menurutku kembali lagi ke daerahnya masing-masing. Kalo ada daerah yang tau
potensinya apa, pasti gaya layaninnya semangat. Rasanya kita kepingin ditarik
langsung untuk pergi ke daerahnya. Contohnya di anjungan Sabang ini. Si Ibu
semangatnya luar biasa ceritain komoditi produk kelapa yang dibuat sedemikian
rupa. Bahkan menurutnya, banyak produk-produk ini yang diekspor ke luar negeri.
Berulang-ulang ia ngajak kami ke Sabang.
Trus kami sempat mampir ke
anjungan Nagan Raya (kalo nggak salah,
pokoknya yang paling sudut halaman belakang). Agak kaget waktu masuk
kemari, lha pelaminannya ada tiga buah! Entah untuk apa-apa aja. Di lemari kaca
dipamerin beberapa perhiasan khas Aceh. Ukirannya rumit dan keren sekali. Lagi
sibuk-sibuknya celingak celinguk, disudut sana terdengar grasak grusuk. Eh
ternyata ada bule!
Bule dan kue karah |
Si bule yang datangnya seorang
diri itu celingak celinguk perhatiin beberapa kerajinan yang ada. Mungkin karena
suprise sampe ia tanya berulang-ulang. Panitia dibuat sibuk. Haaahhaha...
“This is karah!” ujar seorang
panitia yang disambut gelak tawa sebagiannya. Si bule mungkin heran lihat kue
yang berputar-putar kayak sarang burung itu.
Dia manggut-manggut. Trus
nunjuk-nunjuk lagi ke beberapa produk. Dia nunjuk-nunjuk bulat-bulatan yang memenuhi
keranjang.
“This is telur asin!” sahut
seseorang. Yang lain udah sakit perut ketawanya. Aku dan Ariel ikut-ikutan.
Kepingin bantu. Tapi berhubung aku lebih sering ngobrol bahasa Spanyol jadi
kuurung.
Si bule juga senyum-senyum. Mungkin baginya ini lucu banget kali yak! Trus
dia nunjuk-nunjuk yang lainnya. Nunjuk anyaman tikar yang terdapat di atas
meja. Sebagian panitia mulai sibuk waktu ia tanyain itu.
“This is a blued padee,” jawab seseorang. Si bule senyam senyum. Mungkin
kepalanya udah pusing tujuh komplek. Ini
orang-orang pada ngomong apaan sehh.
Santai dia malah balik nanya, “khallo
yangg iniii aphaaa??”
Jiiiahhhhhhh bisa bahasa Indonesia rupanya! Hahahahhahaa...
istirahat shalat (budaya Aceh sekali ini) |
Haduehh! Aku dengan Ariel langsung
keluar terpingkal-pingkal. Kami lantas keluar. Berhubung waktu zhuhur tiba. Beberapa
anjungan tutup untuk sementara. Bagi aku ini menakjubkan. Mudah-mudahan tutup
sementara ini memang untuk pelaksanaan shalat, bukan sekedar makan siang. Kalo maghrib tutup nggak ya?
Terlalu terik akhirnya kami pulang.
Tapi overall banyak hal baru yang bisa kita ketahui di PKA ini. Walaupun diluar
sana ajang ini mulai dihujat sana sini gara-gara pengelola tahun ini terlalu
acak kadut. Tapi jika Anda ingin ke PKA, usulku datang saat pagi atau sebelum
ashar.
Suasana nggak terlalu crowded. Dengan leluasa kita bisa
menjamah banyak stand dan bertanya ini itu ke panitia. Cuma sayangnya, ada
beberapa panitia/guide yang kesannya ogah-ogahan. Pengunjungnya dimana, dianya
kemana. Brosur-brosur juga kurang. Padahal itu penting sebagai info dasar bagi
pengunjung. Lha inikan moment tepat untuk jaring wisatawan!
Tapi jika ditanya anjungan mana
yang paling berkesan selama aku keliling kemarin. Aku dengan Ariel sepakat
anjungan Aceh Timur yang paling berkesan dan bikin kami berdua menganga.
Setelah anjungan Bener Meriah,
sebenarnya kami sempat masuk ke anjungan Aceh Timur. Anjungannya mungil sekali.
Awalnya aku-Ariel enggan masuk. Soalnya
padat merayap. Tapi berhubung yang kesana rame, jadi penasaran. Ini ada apaan sih?
Ketika masuk aku berkesan dengan
lantai kayu rumah adatnya. Lantainya tersusun dari kayu berukuran kecil yang
tidak rapat. Ada rongga diantaranya. Jadi bisa lihat kebawah. Ini mengingatkan
aku dengan rumah panggung di kampung yang masih sederhana.
Ibu2 bikin ain kasab (foto burem) |
Disisi anjungan ada pelaminan. Berbeda
dengan pelaminan di kabupaten lain yang kosong melompong, bahkan nggak boleh
duduk, disini malah disediain pengantin!!! Huaaaaa... jadilah pengantin ini
dikerubuti diajak foto bareng. Keren!!
Berjalan ke sisi kiri, ada
ibu-ibu yang sibuk nyulam kain kasab. Baru kali ini mataku langsung lihat
gimana proses kainnya dibuat. Berbeda dengan anjungan lain yang bahan baku
pembuatannya tergeletak begitu aja. Disini ditampilkan cara pembuatannya. Si
ibu dikerubungi. Di foto sana sini.
Ibu & dapur khas Aceh (Aceh Timur) |
Berjalan sedikit ke belakang, eh
ada dapur! Ada ibu-ibu sibuk masak! Gileee... jadi selain kita lihat dapur ala
rumah Aceh dulu, ibu-ibu ini jadi tontonan seru sewaktu memasak. Soalnya mereka
lagi sibuk buatin bubur kanji, makanan khas Aceh.
“Bubur ini nanti dijual ke
pengunjung,” sahut si Ibu ketika kutanya. Awalnya pikirku mereka masak untuk
makan siang. Hahahhaa...
Sambil motong ini itu, si Ibu
jelasin macam-macam perkakas khas Aceh. Lampu panyoet yang dulunya pernah ku lihat di film Tjoet Nja’ Dhien.
Tempat simpan asam sunti, belanga, kendi, bahkan parutan kelapa yang model
duduk itu! Haduhhh!! Tahun berapa
terakhir lihatnya yaa..
“Itu juga kami buat disini,”
tunjukkan ke arah meja dekat dapur. Disana ada dodol, trus beberapa penganan
lainnya. Sambil masak si Ibu juga sibuk nerangin ini itu. Dia juga nunjuk ke
sudut ruangan yang ada pameran benda-benda kuno dulu. Aku bergegas kesana.
Tongkat syech Abdurauf Asysingkil (Aceh Singkil) |
Anjungannya padat! Sampe dindingnya
ditempelin foto-foto bersejarah. Ketika keluar, eh dikasih brosur! Dua brosur
lagi yang nerangin Aceh Timur. Mantaiipp!! Niat upayanya jelas kurasa untuk
ngabarin apa itu Aceh Timur kepada
pengunjung.
So, masih banyak hal menarik di
PKA.
Kalo ada anjungan nampilin geoll
dangdut, mending boikot aja! Minimal nggak usah disamperin!
SALAM GEOOLL!!!!!
sangat menarik
BalasHapus