Liburan rame itu seru. Bisa patungan, bisa menghemat budget. Tapi terkadang liburan model gini juga bikin puyeng, terlebih untuk menyamakan keinginan. Orang yang jamak, tentu keinginannya beragam. Makin repot kalau waktunya sangat terbatas.
cerita sebelumnya Hah! tempat Bom Bali jadi lahan parkiran?
Liburan rame-rame itu seru! Tapi
terkadang juga menyusahkan. Seperti kemarin, selepas dari Legian aku bersama
rombongan lainnya memutuskan untuk berkeliling Bali pada keesokan paginya.
Berhubung ini liburan ala
backpacker gembel, maka budget pun benar-benar diperhitungkan. Niat pertama
cuma ingin menyewa sepeda motor atau mobil. Fadli yang kebetulan mampu
mengendarai mobil ditampuk jadi sopir. Peta Bali yang diahliwariskan Nuril jadi
penunjuk jalan. Peta itu yang bikin Nuril dengan Junaida bisa melalang ke
pelosok Bali. Tampilannya pun udah awut-awutan, sobek sana sini.
Mencari jasa sewa juga termasuk
gampang disini. Beberapa brosur mudah dijumpai. Tapi berhubung jemput Rara di
Jimbaran kejauhan dan kelamaan, nyewa sepeda motor/mobil dipikir ulang.
“Hat, jauh kali Jimbaran dari
tempat kost-kostan kita!” Fadli nelpon tiba-tiba. Dia udah berangkat sejak pagi
beberapa puluh menit lalu ke tempat Rara.
“Belum nyampe?”
Fadli mengiyakan. Gileee...padahal
berangkatnya udah kapan-kapan tapi juga belum sampe. Fadli menyuruh aku mencari
penyewaan mobil. Dan gayung bersambut! Dengan mudah tanya sana sini, akhirnya
ketemu dengan pak Andi.
Ternyata rate harga tipis antara sewa mobil
doang, dengan sewa mobil + sopir. Setelah berdiskusi lama dengan Fadli di ujung
telepon. Akhirnya pilih sewa mobil + sopirnya. Soalnya hari menjelang siang.
Makin ribet kalo nekad berangkat tapi arah jalan nggak tau. Bukannya berwisata
eh malah kesasar kemana-mana.
Pak Andi baik hati. Harga sewa Rp
450.000 bisa dipake sampe malam. Berhubung kami berempat jadi bisa patungan.
Hemat energi dan biaya dah! Dia berjanji bakal datang 15 menit kemudian.
Menjelang waktu ditentukan aku
baru sadar, lha Fadli dengan Rara kok belum sampe-sampe. Aku dan Adit tinggal
di kostan. Fadli jemput Rara di Jimbaran dengan taksi untuk ngajak ngumpul di
kostan. Soalnya rutenya ribet agak susah kalo mampir lagi kesana.
Ditunggu beberapa menit, eh nggak
sampe-sampe juga!
Aku coba nelpon, katanya udah
hampir dekat. Seharusnya berhitung beberapa menit lagi udah sampe di
kost-kostan. Tapi ditunggu-tunggu malah kelamaan.
Handphone berdering. Fadli!
“Hat! Kami
tersesaaatttttttt!!!!!” Fadli langsung teriak sewaktu handphone kuangkat!
Ampun dah! Pantesan lama.
“Taksinya nggak tau jalan, kami
pun nggak tau jalannya yang mana. Tolonggg Hatt...”
Maka kerepotan dimulai!
Pak Andi datang 5 menit lagi.
Rara dan Fadli tersesat diantah berantah. Fadli kasih clue, katanya dia turun nggak terlalu jauh
dari kostan. Tapi berhubung di turuninnya di jalan tikus, mutar-mutar! Masuk
kesana kemari. Tersesatlah kemudian.
Aku nyusul pake feeling. Dia
nyebutin nama jalan. Aku melongok-longok di papan nama.
“Hat kami di bawah tower
Telkomsel!” Fadli telepon tiba-tiba.
Aku makin grasak grusuk, celingak
celinguk nyariin tower telkomsel disepanjang jalan. Mana ya? Mana ya? Nah, itu dia! Tower besi merah putih menjulang
dikejauhan.
Towernya lumayan dekat. Tapi di
permukiman padat, nggak tau harus lewat mana. Kutanya ke seorang remaja
tanggung di depan ruko. Dia menggeleng, nggak tau lewat mana menuju tower.
“Saya orang baru disini...”
Telepon berdering-dering. Kayak
petugas SAR yang lagi pantau korban tenggelam di laut. Bentar-bentar kirim
laporan. Ujung-ujung, jreengg...jreenggg...ketemu! Mereka meringkung di toko
souvenir yang aku datangi hari pertama lalu.
“Payah nih peta! Nggak lengkap!”
Rara langsung sewot. Peta segede sajadah itu nggak bantu sama sekali.
Dipelototin juga nggak tau di daerah mana.
Fadli juga uring-uringan,
“numpang tanya sama warga juga masa bodo’. Masak mereka nggak tau alamat kostan
kita...”
Terserah deh yang penting ketemu.
Baru sebentar ngobrol, handphone
berdering lagi. Pak Andi!
Saya sudah sampai di ujung
lorong, kalian dimana?
Huawwaaaaa... Pak Andi kelupaan.
Bergegas kami berlarian. Tetap dengan gaya Sumatera yang suaranya membahana
kemana-mana. Sangking ributnya melewati sebuah mobil besar, seorang pria
melongok dari jendela.
“Ferhat!!”
Eh, aku mengernyit! “Pak Andi?!”
tebakku asal. Si Bapak mengangguk.
Lha, kok dia kenal ya? @_@
“Kok bisa tau, Hat?” tanya Rara
heran. Aku menggeleng, “mungkin karena kita berisik kali kak. Mana ada suara
orang ngomong segede kita disini,”
Hehehehe...
Bergegas petualangan pun dimulai.
Ternyata pergi rame-rame nentuin tujuan arah juga heboh. Fadli dengan Rara
kepingin ke pantai. Aku? Beuhhh... Banda Aceh memang pantai dimana-mana. Bosan!
Aku kepingin ke tempat yang lebih nyeni atau melihat langsung kehidupan
masyarakat Bali di pasar tradisional.
Rara kepingin lihat sunset lagi.
Fadli kepingin lihat sawah bertingkat-tingkat. Aku kepingin ke pasar Sukowati.
Cuma Adit yang diam dan patuh berbudi.
Udah telat, ditambah diskusi
panjang lagi di dalam mobil sambil buka brosur dan peta. Pak Andi yang
blesteran Jawa cuma manggut-manggut. Kami berdiskusi ribut ala Sumatera. Makin
parah suara klakson berdenyut-denyut di belakang. Baru nyadar, kami diskusi sambil
markir mobil di pinggir jalan sempit. Bikin macet!
“Biar gampang, kita kearah timur
aja dulu. Dari Gianyar, Ubud, Bedegul nanti ke Tanah Lot lihat sunset...” Pak
Andi beri alternatif. Mungkin dia agak sedikit sempoyongan dengar kegaduhan
kami.
“Nanti sempat ke Sukowati?”
tanyaku.
Dia menggeleng, “kejauhan...”
“Kalo ke Garuda Wisnu Kencana?”
tanya Fadli.
“Agar mutar,” dia diam sejenak,
“atau kita jalan aja dulu ya!”
Akhirnya kami manggut. Terserah
Bapak deh yang penting kita jalan-jalan.
Bersambung (#Bali 5)
0 komentar:
Posting Komentar