Tanah
basah dan bau tanah menyeruak sore itu. Hujan baru saja turun beberapa menit
lalu. Blang Cut desa yang tidak terlalu jauh dari pusat kota Banda Aceh
terlihat teduh. Pepohonan besar memayungi menahan rintik hujan membentuk jarum,
udara teras lembab. Rimbun pohon terpangkas rapi membentuk pagar di tepian
jalan di desa kecamatan Lueng Bata ini.
Di
sebuah rumah berbentuk ruko, Atjehtimes menjumpai Djailani (59) membuka usaha
yang bersisian dengan rumah utamanya. Beberapa kebutuhan rumah tangga dijajakan
di teras rumah, sebagian lagi tersusun rapi di dalam ruko. Sehari-hari ia
dibantu istrinya, Irawati, menjalankan usaha ini. Di warung kecil ini pula,
setiap Ramadhan tiba ia menjual racikan
ie bu peudah (air nasi pedas) penganan berbuka serupa bubur yang diracik
dari rempah-rempah.
“Saya
menjual satu porsinya Rp 12.000,” ujar Djailani sore itu. Satu porsinya
seukuran kaleng susu kental. Bahan-bahan itu berbentukan racikan dikering.
Pembeli tinggal merebusnya dengan tambahan dedaunan dan sayuran.
Djailani
mengaku ia tidak mengolah sendiri bahan-bahan tersebut. Ia hanya menampung dari
adiknya, Khairiah Ibrahim Saad atau kerap disapa Nyak Neh. Saban Ramadhan, Nyak
Neh meracik bahan ie bu peudah dan rutin
menitipnya di warung milik Djailani.
Dari
teras rumah, Djailani menunjuk arah kediaman Nyak Neh. Letaknya tak seberapa
jauh dari rumahnya, masih di kawasan Blang Cut.
Lantas saya menuju kesana, menyusuri jalan Tgk. Tuan Cekok yang lengang sore itu.
Rumah-rumah panggung tersusun rapi. Di persimpangan desa arah berbelok ke
jalanan sempit bersemen kasar. Seorang perempuan setengah baya duduk termenung
ditangga rumah panggungnya. Beberapa ekor ayam berkeliaran di halaman rumah.
Terlihat juga perahu jaloe yang terikat di tiang-tiang kayu
kolong rumah
“Itu jaloe
saya pakai waktu banjir besar tahun 2000 lalu,” ujarnya membuka pembicaraan
sore itu.
Nyak
Neh (56) begitu kerap disapa menyambut hangat kedatangan saya. Setelah
mengutarakan maksud kedatangan, ia mempersilahkan saya masuk ke rumahnya.
Dari halaman samping, kami menyusuri lewat pintu belakang. Ternyata rumah
panggung ini bergandengan dengan bangunan bata dibelakangnya.
Bangunan
bata ini membentuk beberapa ruangan. Selain gudang, dapur, kamar mandi, juga
ada ruang kosong yang bersisian dengan tangga menuju rumah panggung. Dari sana,
Nyak Neh mengeluarkan beberapa bahan yang ia gunakan untuk membuat bubur ie bu peudah.
Dapurnya
tampak semarak sore itu. Menjelang puasa, ia memang berbenah menyiapkan
pelbagai pesanan. Selain pesanan tumbukkan tepung beras ia juga menyiapkan
racikan bahan ie bu peudah yang akan
ia jajakan di warung Djailani, abang kandungnya.
Dulunya
kesibukan ini baru terasa dua hari menjelang ramadhan. Biasanya racikan ini ia
kerjakan bersama Ibunya. Namun setelah kepergian Ibunya enam tahun silam, Nyak
Neh terpaksa melanjutkan usaha ini seorang diri. “Sepuluh hari atau seminggu
sebelum puasa saya udah mulai mengolah bahan-bahan ini sendirian,” ujarnya
sambil beranjak ke ruangan yang bersisian dengan tangga.
Dari
sana ia mengeluarkan keranjang rotan. Didalamnya terdapat daun-daun kering
bahan utama ie bu peudah. Sebagian
bahan-bahan itu ia peroleh dari berbagai pasar, seperti pasar Sibreh dan pasar
Lambaro. Ia mengakui sangat sulit mencari bahan-bahan ie bu peudah saat ini. Terkadang ia meminta bantuan adiknya yang
tinggal di Aron-Ketapang untuk mencari bahan ie bu peudah di kebun warga atau di hutan kaki bukit.
“Bahan-bahannya
sudah susah saya beli di pasar. Kadang-kadang kalo tidak ketemu, harus cari di
kebun atau di hutan,”
Bahan
racikan ie bu peudah terbilang asing
bagi masyarakat awam. Konon masakan ini menggunakan 44 bahan dapur, tapi
terkadang Nyak Neh tidak mampu menemukan semua bahan-bahan tersebut sebab
keberadaannya semakin sulit ditemukan.
Ie bu peudah
adalah makanan serupa bubur yang penuh dengan rempah-rempah. Buburnya beda dengan
kebanyakan yang ada. Bubur ie bu peudah
tidak mengunakan potongan ayam ataupun udang selayak bubur kanju. Ia didominasi
rempah-rempah yang membuatnya sedikit lebih hangat dan pedas.
Nyak
Neh berujar bahwa ada sekitar 44 bahan dapur yang digunakan untuk meracik
masakan ini. Semisal kacang hijau, beras, jagung, lada, halia, jahe, kunyit,
seuree, ketumbar, bawang putih, pala, hingga lamkeuweuh. Bahan-bahan itu dibersihkan dan ditumbuk halus lalu
digongseng hingga kering.
Hal
sama juga ia lakukan untuk bahan pelengkap dedaunan yang memperkaya racikan
bubur ini. Semisal, daun mireuk, daun
saga, daun jeruk purut, daun teumuruy, daun camplie buta, daun balek
baloe, daun lada, daun kunyit, daun serapat,
seumalu bate, seurumpung, tahe peuha, balek angen. Kebanyakan dedaunan ini
semakins ulit didapat. Terkadang Nyak Neh harus menyusuri ke dalam hutan atau
mengabaikan dedaunan yang dimaksud jika sulit ditemukan.
“Buatnya
capek sekali. Bahannya harus dicuci semua trus dikeringkan. Setelah dikeringkan
baru dihaluskan satu persatu” ujar Nyak Neh yang terkadang membutuhkan waktu
seminggu untuk menyiapkan ini semua.
Bahan-bahan
itu ia haluskan menggunakan jeungkie, alat
tradisional yang sering digunakan untuk menumbuk beras. Bentuknya kayu
memanjang dengan pijakan diujungnya. Disisian ujung kayu lainnya terdapat kayu
memanjang kearah bawah. Disanalah tumpuan tumbukkan bersumber. Berganti-gantian
Nyak Neh menumbuk semua bahan-bahan itu sebelum ia gongseng hingga kering.
Bahan-bahan
yang telah dihaluskan kemudian diaduk rata dengan beras tumbuk kasar. Campuran
itu kemudian dimasak kering menyerupai bumbu kacang pecal. Racikan bumbu itulah
yang dijual Nyak Neh di warung Djailani. Bumbu hasil racikannya mampu bertahan
tiga bulan, “biar bumbunya tetap bagus, simpan di dalam botol kaca jangan dalam
plastik,” jelas Nyak Neh yang mengaku bulan ramadhan ini mendapat orderan
racikan ie bu peudah dari Jakarta.
coba mesin kukur kelapa tradisional |
Racikan
ie bu peudah ini tentu mempermudah
bagi siapa saja yang ingin mencicipinya. Pembeli tinggal merebus air dan
mencampur racikan ini dengan potongan dedaunan seperti, daun melinjo, daun
jeruk purut, daun singkong, jagung, ketela, jahe, kunyit, kacang ijo, daun
pepaya, potongan pisang dan kelapa muda. Kesemua ini dimasak dan diaduk hingga
matang.
“biar
lebih enak, tambahkan sedikit air kelapa,” jelas Nyak Neh.
Di
tempat terpisah, Zuriyati Irfan, salah seorang warga Lueng Bata mengaku menjadi
pelanggan tetap racikan ie bu peudah
Nyak Neh. Ia mengaku setiap Ramadhan tiba rutin
membeli racikan ini di warung Djailani yang letaknya berkisar 200 meter dari
rumahnya. Bagi Zury racikan satu porsi ie
bu peudah mencukupi hingga dua minggu ramadhan tergantung pemakaian.
“Racikannya
dipake sedikit aja, nanti baru ditambah banyak sayuran,” ujar Zury yang
menjadikan ie bu peudah ini menu
berbuka untuk menghangatkan badan.
Menghangatkan
tubuh dan mencegah masuk angin selama ramadhan adalah satu khasiat dari ie bu peudah. Masakan yang didominasi
dedaunan herbal dan rempah ini memang memiliki khasiat tinggi. Selain menjaga
stamina tubuh sepanjang Ramadhan, juga asupan karbohidratnya tinggi yang
bersumber dari beras, kacang hijau dan jagung.
depan rumah Nyak Neh. Lha, kok ada penampakan Aslan?? |
Hal
itu turut dibenarkan oleh Nyak Neh. Tapi ketika disinggung apakah 44 bahan
dasar ie bu peudah turut bangkit
ketika akhirat nanti seperti yang beredar di masyarakat, Nyak Neh menolak dan
menampik mempercayainya.
“Saya
tidak mengerti tentang itu, tapi kalo untuk menjaga kesehatan memang iya..”
ucap Nyak Neh menutup obrolan sore itu.
#
# #
Setelah melalui penyuntingan
tulisan ini dimuat di tabloid Atjehtimes edisi 1-7 Juli 2013 dengan judul Hangatnya Ie Bu Peudah
dimuat juga di http://www.atjehpost.com dan di www.vivanews.com
mantap bang ferhat. kapan2 kalau nyari objek tulisan ajak2 liza laaah
BalasHapushhahahaa... yook za.. kemarin pg dg Zuri sama Aslan..
HapusAjak-ajak aku juga ya hat ;)
BalasHapus