Hujan menderas pagi ini. Angin menderu tak biasa. Dari balik
jendela saya memandang galau. Beberapa orang mulai membatalkan janji untuk ikut
serta. Seperti yang disepakati seminggu lalu, pagi ini saya dan teman-teman FLP
Aceh berencana menjelajah beberapa tempat bersejarah di pusat kota.
Museum Aceh, Kandang Meuh, dan makam Sultan Iskandar Muda
masuk dalam list penjelajahan kami. Mendekati pukul 09.00 WIB, hujan menyemai ringan. Saya memilih berangkat
walau baju sedikit kuyup. Di museum Aceh, baru saya yang hadir.
Ketika hujan semakin menderas, kegalauan saya semakin hebat.
Alamat batal penjelajahan kali ini. Lantas saya BBM Ibu Laila Abdul Djalil, seorang
arkeolog yang mejadi pemateri pagi ini. Saya baru mengenalnya dua minggu lalu.
Kegilaannya terhadap sejarah, membuat kami tertarik untuk menjelajah.
Satu persatu beberapa teman muncul. Waktu satu jam molor
dari kesepakatan awal. Jumlah peserta yang ditaksir bakal ramai, rupanya tak
sesuai diduga. Hanya bersepuluh kami menuju ke komplek Gedung Joeang di sebelah
Museum Aceh.
Berkumpul di depan makam Iskandar Muda. Ibu Laila hadir
kemudian. Mengenal lebih dekat tempat bersejarah, lebih seru rasanya jika
dilengkapi cerita heroik masa silam. Ibu Laila menjelaskan dengan detail.
“Ini bukan makam Iskandar Muda, tapi cuma monument…”
Ibu Laila mengawali dengan cerita mengagetkan. Sebagian
termenung heran. Baru kali ini aku tahu, kalau tempat yang selama ini kukira
makam Iskandar Muda hanyalah monument.
serius dengar penjelasan Ibu Laila |
“Lokasi makamnya memang di area ini. Tapi hilang nggak ada
jejak. Makanya dibangun monument ini sebagai penggantinya” lanjutnya sambil
menunjuk monument tinggi yang dipayungi atap kokoh.
Ibu Laila menjelaskan, monument ini dibangun pada tahun 1976
oleh BP3. Saya sempat heran mengapa makam seorang Sultan besar bisa hilang
keberadaannya. Rupanya, makam-makam Sultan Aceh dulunya berdiri megah. Emas,
berlian, bahkan lazuardi menutupi bagian-bagian makam. Makanya area ini disebut
juga komplek Kandang Meuh (makam
emas). Naas, tempat ini sering dijamah dulunya. Terlebih saat peperangan
Belanda. Sedikit dan perlahan bagian berharga makam lumat, hingga tanpa
menyisakan.
Kesulitan untuk mencari makam Sultan Iskandar Muda yang
hilang berabad lampau, maka ada tahun 1976 BP3 mendirikan semacam monument.
Bentuknya lebar dan sedikit tinggi. Hal ini diilhami dari deskripsi Bustanul
Salatin, jika makam Sultan Iskandar Muda berbentuk persegi delapan dengan
tinggi 7 hasta.
“Coba lihat, bentuknya pun bukan seperti batu nisan Aceh
kebanyakan. Tapi lebih kayak bangunan
permanen yang diplester..”
Saya memperhatikan lekat. Memang benar, struktur “makam” ini
tidak seperti makam Aceh tempo dulu yang penuh ukiran rumit di batu nisannya.
Ini hanya “makam” persegi dengan struktur batu tersusun dan dilumuri semen
plesteran.
“Jangankan makam ini yang dijamah. Di makam Kandang 12 yang
dibaluti tembaga, eh, tembaganya juga hilang...” Lanjut Ibu Laila.
Sultan Iskandar Muda adalah salah satu Sultan paling
termahsyur dalam kerajaan Aceh. Ia lahir pada tahun 1593. Kepemimpinannya
gemilang dalam kekuasaan sejak 1607 hingga 1636. Kekuasaannya meliputi separuh
Sumatera. Memiliki armada perang terbesar yang ditakuti lawan. Gaya
kepemimpinannya yang adil, menjadikan rakyat makmur. Lalu ia menikah dengan
putri kesultanan Pahang Malaysia, yakni Putroe Phang. Konon karena kecintaannya
yang mendalam, ia mendirikan taman
Gunongan bagi Putroe Phang agar kesedihannya meninggalkan Pahang terobati.
Pada tanggal 27 desember 1636, ia meninggal dunia dalam usia
43 tahun. Kekuasaan kerajaan diserahkan
ke menantunya Sultan Iskandar Tsani (1636-1641). Setelah Sultan Iskandar Tsani
meninggal, kerajaan dikuasai oleh istri Sultan Iskandar Tsani, yaitu Sultanah
Tajul Alam Syafiatuddin (1641-1675) yang juga puteri Sultan ISkandar Muda.
Hujan mereda. Saya dan rombongan memilih berjalan
menyelusuri komplek Kandang Meuh. Kandang dalam bahasa Aceh berarti makam.
Komplek ini berada didepan “makam” Iskandar Muda. Bersebelahan dengan Gedung
Joeang. Diarea kecil yang dipagari rendah itu, terdapat 4 makam dengan ukiran
dan ukuran berbeda-beda; Putra Raja Anak Raja Bangka Hulu, Sultan Alaidin
Mahmud Syah, Raja Perempuan Darussalam, dan Tuanku Zainal Abidin.
komplek Kandang Meuh |
Tak banyak penjelasan tentang makam-makam ini. Saya dan rombongan hanya menekuri
bentuk-bentuk nisan. Beberapa nisan telah dipugar dengan penambahan semen
disana-sini. Kesan aslinya berkurang. Tapi sekilas area makam ini terawat baik.
Setiap makam dinomori dengan penjelasan nama dipajang disalah satu prasasti.
Hujan hanya mereda sesaat. Gerimis kembali menghalau kami
untuk menepi. Berlarian saya menuju ke teras Gedung Joeang. Gedung
berarsitektur lama ini terlihat kusam dan sepi. Konon ditempat ini penaikan
bendera merah putih pertama kali dengan insiden antara rakyat dan kolonial
Jepang. Beberapa bagian dinding terkelupas memperlihatkan bata merahnya.
Dihalaman depannya, beberapa meriam dengan pelbagai ukuran beraturan rapi
menghadap jalan raya.
Disudut gedung ternyata juga terdapat komplek makam. Areanya
juga tak terlalu luas. Tapi jumlah makamnya lebih banyak dibanding komplek Kandang Meuh. Diprasasti area makam,
tercatat ada 9 makam dari keluarga kerajaan. Seperti makam Pocut Rumoh Geudong,
Pocut Sri Banun, Sultan Alauddin Muhammad Syah, Sultan Husin Jauhar Alamsyah,
Putroe Bineu, Tuanku Husen Pangeran Anom (wakil kerajaan Aceh di Deli), Tuanku
Cut Zainal Abidin (Ayah dari Sulthan Alaudin Muhammad Daud Syah), Teungku Chik.
Sebagian prasasti mencatat tahun kelahiran dan kematian mereka.
Seperti biasa
perjalanan dengan teman-teman FLP, tidak lengkap tanpa bernorak-norak ria.
Entah kenapa, ini seperti peraturan tanpa disepakati. Beramai-ramai kami
berfoto di depan Gedung Joeang. Sebagian malah nekad naik diatas meriam sambil
berakting ala penjajah Jepang.
Belum puas, sesi foto berlanjut ke Museum Aceh. Area Museum
Aceh luas. Ada beberapa gedung menjulang tinggi dengan fungsi berbeda-beda.
Saya dan teman-teman berkumpul di Rumoh
Aceh, rumah adat Aceh berbentuk panggung. Warnanya hitam gelap. Beberapa ornament
warna terang mencolok dibeberapa bagian.
Rumoh Aceh |
Sialnya, ketibaan kami bertepatan dengan jam istirahat.
Padahal Ibu Laila sudah bersemangat mengajak kami berkeliling rumah.
“Rumah Aceh ini dulunya paviliun di arena pameran Belanda
di Semarang,” jelas Ibu Laila dibawah rumah panggung. Kami berkumpul disana
sambil bermain jeungki, alat
tradisional menumbuk padi.
Komplek museum Aceh ini didirikan oleh pemerintah
Hindia-Belanda pada tanggal 31 Juli 1915.
Bangunan pertamanya adalah Rumoh Aceh, yang awalnya sebagai paviliun
di pameran kolonial (De Koloniale Tentoonsteling). Dalam pameran itu dipamerkan
koleksi F.W. Stameshaus yang menjadi kurator museum Aceh pertama.
Karena lengkapnya koleksi pameran, paviliun Aceh mendapatkan
4 emas, 11 perak, 3 perunggu, dan terpilih sebagai paviliun terbaik dalam ajang
tersebut. Lantas paviliun Rumoh Aceh dibawa pulang ke Aceh lalu dijadikan
museum seperti sekarang ini.
norak-norak bergembira |
Menjelang siang, hujan mereda. Ibu Laila buru-buru harus
pulang. Penjelajahanpun usai. Seperti
kebiasaan, sebelum bubar untuk kesekian kalinya saya dan teman-teman FLP
kembali bernorak-norak gembira mengabadikan kegiatan ini. Foto bersama pun
mengakhiri penjelajahan minggu ini.
yaah..gak bs ikut kmrn krn ada acara lain yg genting. ;-(
BalasHapustp serasa ikut jg stlh baca tulisan ini.
Mksi bg ferhat oleh2'a. :>)
sama2 Isra yang udh mmpir kemari..
Hapuswihh, mantab bang,. (h)
BalasHapuskapan-kapan kita ke makam firaun ya,. :d
terimakasih untuk sharingnya, saya tertarik dengan sejarah aceh.
BalasHapus