Saya heran, ketika bus yang saya
tumpangi beserta rombongan Jelajah Budaya Aceh (JBA) berhenti didepan masjid Baitusshalihin,
Ulee Kareng/Ulee Kareung. Dari jendela bus, saya melihat halaman masjid penuh dengan jamaah
yang sedang berwudhu. Beberapa menit lagi, waktu shalat ashar akan tiba.
Keheranan saya semakin bertambah,
ketika Ibu Evi, ketua rombongan JBA menyuruh kami turun. Saya tak tahu, apa
menariknya Masjid Baitusshalihin yang sedang direnovasi itu untuk kami
jelajahi. Bangunannya berarsitektur kini. Beberapa tukang tampak bekerja di sudut-sudut
mesjid. Sejarahnya pun mungkin tak
sehebat Masjid Baiturrahman atau Masjid Baiturrahim, Ulee Lheue.
“Bukan masjid ini kita jelajahi…”
ujar Ibu Evi seperti tahu akan kebingungan saya. Dengan langkah cepat, pegawai
di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata itu memimpin barisan menuju kearah simpang
tujuh Ulee Kareung.
Rombongan kami yang ramai, sempat
menarik perhatian penikmat kopi disana. Ulee Kareung, salah satu sentral kopi
di Banda Aceh. Cita rasanya harum hingga ke mancanegara . Tak pelak, banyak
sekali warung-warung kopi berjejer disepanjang jalan T. Iskandar ini.
masjid tampak dari luar |
Lalulintas simpang tujuh sedikit
lengang sore itu. Menurut jadwal tujuan, hari ini saya dan rombongan akan
mengunjungi salah satu mesjid tertua di Ulee Kareung. Saya tak pernah melihat
mesjid Ulee Kareung, selain mesjid di tempat pemberhentian bus tadi.
Dengan langkah sigap, Ibu Evi
menyeberang perlintasan simpang tujuh yang lengang. Ia menyusuri jalan kecil
yang disusul kami dibelakangnya.
“Kalo parkir bus disini, takut
nggak muat. Jalannya kecil..”
Saya mengerti, kenapa bus harus
diparkir sedikit jauh. Jalan yang kami lalui terbilang sempit untuk lintasan
bus. Sebuah papan penunjuk jalan tertancap di sebatang pohon. Jalan Mesjid Tuha.
“Kalian pasti belum pernah kemari
kan?” Ibu Evi tersenyum ketika melihat saya memotret papan nama jalan itu. Saya
menggeleng. Jujur saya tidak pernah melintasi lorong ini. Padahal jaraknya
hanya beberapa meter dari simpang tujuh Ulee Kareung.
Berjalan sekitar 100 meter dari
muka lorong, dari kejauhan tampak bangunan tua dengan kayu-kayu kusam. Seng
yang memayunginya tampak berkaratan. Sekilas bangunan itu hampir mirip dengan
Masjid Indrapuri.
“Itu masjid tuha Ulee Kareung!”
Saya berdecak kagum. Tak pernah
sekalipun membayangkan diantara padatnya pasar Ulee Kareung dan penuhnya
pertokoan, masih berdiri bangunan tua.
“Ini kali pertama saya kemari.
Saya malah nggak tahu kalo ada mesjid tua di Ulee Kareung…” Saya mengakui
kealpaan tempat ini.
Ulee Kareung bukan tempat asing
bagi saya. Tinggal hampir puluhan tahun di Banda Aceh, saya baru sadar ada Mesjid Tuha yang berdiri kokoh sejak
abad 18.
Ibu Laila yang menemani
penjelajahan ini bercerita panjang tentang Mesjid Tuha ini. Mesjid ini
didirikan oleh Sayyid Al Mahalli, seorang ulama dari Arab. Beliau datang bersama
anaknya dan Tgk Di Anjong untuk mensyiarkan ajaran Islam.
struktur masjid yang berkayu dan atap tumpang |
Sesampai di Aceh, Sayyid Al
Mahalli memilih Lamreung sebagai tempat mensyiarkan ajaran Islam, sedangkan Tgk
Di Anjong memilih Peulanggahan. Makanya tak heran, sekilas Masjid Tuha Ulee Kareung ini hampir sama dengan Masjid Di Anjong
Peulanggahan.
“Bedanya, masjid Di Anjong punya
3 tingkat. Sedangkan disini hanya satu lantai.” Kisah Ibu Laila di halaman Mesjid
yang sempit.
Untuk ukuran sebuah halaman
mesjid, tempat ini lumayan sempit. Tangga utama yang hanya 2 pijakan itu,
langsung berbatasan dengan badan jalan. Menurut pengakuan Ibu Laila, sekitar
tahun 1990-an terjadi pelebaran jalan di kawasan ini, “Akibatnya kolam masjid
digusur, cuma tinggal bangunan ini saja…”
Letak mesjid ini berhadapan
dengan Sekolah Dasar. Di kanan kirinya rumah penduduk lumayan padat. Padatnya
lokasi ini tidak lantas membuat masjid berdenyut. Tak ada aktivitas disini.
Ketika saya dan rombongan tiba disaat ashar, tidak ada muazzin ataupun jamaah
yang memenuhi masjid. Pintu masjid tertutup. Tidak ada mimbar didalamnya. Bahkan
azan ashar pun tidak berkumandang dari tempat ini. Sambil menuju kedalam masjid,
Ibu Laila menceritakan jika tempat ini sekarang berubah menjadi Taman Bacaan
Alquran. Tapi sore itu, saya tidak melihat seorangpun santri disana.
Mesjid Tuha Ulee Kareung ini
mengikuti arsitektur masjid Nusantara yang beratap tumpang. Desain mesjidnya
tidak jauh berbeda dengan Masjid Indrapuri, Masjid Tgk Di Anjong, ataupun
Masjid Pancasila yang dibangun di era Soeharto.
Dibandingkan dengan Masjid
Indrapuri, masjid ini lebih kecil. Karena bangunanya kecil, atap yang
dihasilkan berbentuk rundeng, atap
bersusun dua. Atap bersusun dua seperti ini, mengakibatkan adanya rongga besar
diantara kedua atapnya. Rongga besar ini didesain sebagai tempat sirkulasi
udara hingga mesjid tidak panas, dan terasa sejuk. Sangat cocok untuk iklim
tropis. Selain itu, tekhnik seperti ini melindungi kayu dari pelapukan sebab
sirkulasi udara yang lancar.
Maka tak heran, walaupun masjid
ini sudah ada sejak abad 18 kayu penyangganya masih tetap kokoh. Saya pun masih
bisa melihat jelas ukiran-ukiran kayu yang rapi
ukiran kayu |
“Di kayu ini juga ada ukiran doa
qunut..” Ibu Laila menunjuk sebilah kayu yang melintang ditengah Masjid. Saya
memperhatikan ukiran yang masih terlihat nyata itu.
Mesjid ini cukup menggambarkan
bagaimana kekhasannya mesjid asli Indonesia. Selain bentuk atap tumpang. Tiang
penyangga mesjid juga berbentuk bulat persegi delapan. Hal ini berbeda dengan
masjid yang didirikan oleh penjajah Belanda yang tiangnya berbentuk bulat
sempurna.
Saya berkeliling ke area mesjid.
Tampak mesjid ini tidak terurus dengan baik. Beberapa sampah dan kotoran hewan
memenuhi area mesjid. Kayu penyangga juga terlihat lapuk dibeberapa bagian, yang
menandakan mesjid kurang perawatan.
Dan Ibu Laila turut menyayangkan
penimbunan masjid yang berulang-ulang, “beberapa tahun lalu saya kemari, nggak
seperti ini lantai masjidnya,” jelasnya sambil memperhatikan lantai keramik
putih masjid. Penimbunan berulang-ulang ini menghilangkan nilai historis.
Akibatnya, semen penyangga tiang yang biasanya terletak dibawah tameh, tidak tampak lagi akibat
tertimbun.
Keterasingan dan kurangnya
perawatan masjid ini, sudah sepantasnya mendapat perhatian penuh dari pihak
terkait. Semoga semangat syiar Islam yang dibawakan oleh Sayyid Al Mahalli sejak
ribuan tahun lalu, terus berdenyut di masjid tua ini.
Ulee kareng sampai sekarang masih penuh misteri bang... Kpan2 kita pergi sendiri yok bang sekalian ngopi...
BalasHapusyookkk!!! Ada misteri apa disana kira2 Don?
HapusWaw...super skali ya bung ferhat..
BalasHapusKapan reuni glugur?
GLUGURRRRRR....
Hapus;-( ;-(
ini bang Iwan?
akhirnya dapat informasi juga tentang masjid tuha di UK, warga Ulee Kareng juga jarang mempublikasikan pada umum tentang keberadaan masjid tersebut. Semoga saja perhatian pihak terkait dan warga setempat bisa terus melestarikan masjid peninggalan para ulama dulu, menjaga nilai2 estetika masa lalu :)
BalasHapusMudah2an ada penangann yang baik utk mesjid tuha ini..
HapusCerita meajid tua akan enak dibahas sembari minum secangkir kopi
BalasHapusDitambah makan kebab turki =p~
BalasHapusyg bener penulisannya Ulee Kareung ? Jadi artinya malah: kepala kerang.. :Oyg bener penulisannya Ulee Kareung ? Jadi artinya malah: kepala kerang.. :Oyg bener penulisannya Ulee Kareung ? Jadi artinya malah: kepala kerang.. :Oyg bener penulisannya Ulee Kareung ? Jadi artinya malah: kepala kerang.. :O
BalasHapusMesjid Indrapuri kami apa sudah nggak utuh lagi juga, Hat ?
BalasHapushat.. bisa minta ancar2 jalan kemari?
BalasHapusMungkin lebih tepatnya beliau bernama AlHabib Sayyid Abdurahman Bin Habib Hussein Al-Mahdali.
BalasHapus