Beruntung saya bisa mengikuti
Jelajah Budaya Aceh (28-31 mei) tahun ini. Kegiatan empat hari ini diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Aceh setiap tahunnya. Sebelumnya telah ada beberapa kabupaten/kota
yang telah dikunjungi untuk melihat lebih dekat cagar budaya serta mengetahui
sejarahnya. Untuk kali ini konsentrasi kegiatan berpusat di Banda Aceh-Aceh
Besar.
Menjelang siang di hari pertama,
saya beserta teman-teman dari berbagai komunitas mengunjungi kampung Pande.
Kampung Pande salah satu desa tertua di Banda Aceh. Pande dalam bahasa
Indonesia berarti pintar. Dulunya pada masa kerajaan Aceh, kampung ini didiami
oleh orang-orang yang ahli pada bidangnya. Kampung yang bersebelahan dengan
lautan dan krueng Aceh ini, menjadi jalur strategis perdagangan. Kerajaan
Lamuri pun bermula dari sini.
Kampung Pande bersebelahan dengan
Kampung Jawa dan Peulanggahan. Daerah ini masih berbenah. Bencana tsunami 8
tahun silam memporak-porandakan kehidupan masyarakat tepi laut ini. Banyak
kerusakan terjadi. Termasuk lumatnya beberapa peninggalan kejayaan Kerajaan
Aceh dulu.
Menuruni bus yang berhenti di
persimpangan kampung Pande, saya menuju ke sebuah komplek makam kuno. Pagar
besi melingkari komplek yang tak terlalu luas itu. Ilalang tumbuh semak didekat
pintu masuk. Pohon cemara berukuran kecil, belum sempurna menahan terik. Panas.
Didalam komplek, tampak beberapa tukang sedang membenahi beberapa makam.
Ditaksir ada sekitar 50 makam yang terhimpun dalam komplek tersebut. Termasuk
makam Tuan Di Kandang, makam utama yang berdiri ditengah komplek. Beberapa
tukang sedang membangun pondok untuk memayungi makam tersebut. Termasuk makam
Siti Fatimah, istrinya.
“Ketika tsunami, tempat ini hancur lebur. Batu
nisannya berserak sampai kesana..” ujar Ibu Laila Abdul Jalil, seorang arkeolog
dan dosen sejarah yang menjadi tour guide penjelajahan ini.
Disebelahnya, Adian Yahya Abu,
seorang sejarahwan juga menimpali, “pasca tsunami saya ambil beko untuk
mengangkat kembali nisan-nisan ini..”
Ada banyak nisan terpancang di
komplek ini. Dengan berbagai ukiran bentuk yang ternyata menunjukkan pengaruh
seseorang itu selama masa hidupnya. Dipintu masuk, beberapa nisan berukuran
kecil tersusun berbaris-baris. Ditengahnya makam utama, Tuan Di Kandang Syech
Bandar Darussalam dan istrinya, Siti Fatimah, berbatu nisan berukiran plang
pling. Beberapa bagian nisan tampak kusam dan rusak patah.
Makam Tuan Di Kandang |
“Jenis batunya beda, mudah rapuh.
Itu batu pasir…” sahut Ibu Laila, ketika kutanya perihal itu.
Kampung Pande terkenal dengan
banyaknya makam kuno para penguasa Aceh dulu. Ditaksir ada ratusan nisan yang
terkubur disini. Kawasan kampung ini luas, sebagian telah lenyap dilumat
tsunami dan abrasi air laut. Hanya beberapa makam yang baru dipugar. Termasuk
makam tempat saya kunjungi kali ini.
Tuan Di Kandang Syech Bandar Darussalam juga
bernama Mahmud Abi Abdullah Syech Abdul Rauf Bagdadi. Ia putra dari Sultan
Mahmud Syah Seljuq, seorang Sulthan dari Baghdad. Sekitar tahun 1116 M, ketika
masa Bani Abbasiyah berkuasa terjadi perang Salib. Baghdad diserang oleh
Kerajaan Mongol. Mencari perlindungan, pergilah Tuan Di Kandang ini menuju
Aceh. Ada sekitar 500 orang yang ikut serta. Di Aceh mereka menata kehidupan
baru. Masuk dalam kehidupan sosial masyarakat. Lantas mengembangkan ajaran
Islam pada tahun 1205 M dan mengembangkan system pemerintahan kesultanan dengan
Raja pertama Sulthan Abdul Aziz Johan Syah Putra. Konon juga, Tuan Di Kandang
lah yang mendesain rencong pertama kali berdasarkan motif bismillah.
Berada di makam kuno ini, saya
melihat begitu apiknya desain nisan yang berkembang pada masa itu. Teksturnya
halus dengan desain beragam. Di Aceh struktur makam itu terbagi dua. Nisan,
batu penanda makam yang bentuknya berbeda-beda sesuai pengaruh seseorang ketika
masa hidupnya. Dan jerat, batu yang melingkari makam membentuk persegi panjang.
Ketika masa Kerajaan Aceh, batu
nisan dan jerat didatangkan dari Pulo Batee, sebuah pulau terluar Indonesia dan
juga dari India Selatan. Batunya memiliki kualitas terbaik. Batu-batu nisan itu
dipahat di kampung Pande. Batu nisan berbentuk balok persegi delapan
diperuntukkan bagi Raja-Raja. Nisan berbentuk bulat polos, diperuntukkan bagi
kaum ulama. Sedangakn nisan berbentuk petak panjang bagi orang-orang kaya,
keluarga raja, ataupun Meurah-Meugat (pemimpin negara).
Nisan pipih bersayap dengan subang |
Saya sempat takjub ketika melihat
sebuah nisan berukuran besar. Tingginya berkisar 160 cm. Bentuknya pipih
bersayap. Disayap kanan kirinya, terdapat ukiran besar berbentuk subang
(anting-anting). Nisan berbentuk seperti
ini biasanya diperuntukkan bagi perempuan. Bentuknya besar dengan ukiran rumit.
Ditaksir beratnya mencapai 2 ton.
“Ketika masa dulu, sewaktu
pemancangan. Nisan-nisan ini digerek oleh gajah. Makanya dibeberapa nisan dan
jerat ada lubang-lubang kecil sebagai pengikat tali...” jawab Ibu Laila
menjawab kebingunganku, “pasca tsunami tempat ini rusak. Disusun ulang, baru
digerek rame-rame. Hehee…” sambungnya terkekeh.
Menurut pengakuan pak Adian,
empat minggu setelah tsunami ia kembali merapikan batu-batu nisan ini yang
tercerabut dari makamnya, “kita cocokkan kembali posisi-posisinya sesuai
dokumen yang kita punya, agar jangan salah penempatan,” Tapi sayang, hanya
sebagian yang berhasil diselamatkan. Sebagian lagi terbawa arus ataupun
tertimbun tanah.
Nisan yang selamat belum tentu
masih dalam keadaan baik. Di beberapa makam, saya menemukan nisan yang rusak.
Terkikis, patah, ataupun berjamur.
Sebagian makam batu nisannya dibalutin kain putih. Kesan mistik menguak.
Rupanya menurut pak Adian, kain putih yang melilit batu nisan itu bukan
bersifat magic, melainkan untuk menjaga nisan makam agar tetap kuat tak gampang
rusak. Kain memperlambat kerusakan nisan dari penjamuran. Bukan sebagai wujud
pengkramatan makam. Walaupun akhir-akhir ini makna tersebut mulai bergeser.
“Menggunakan tanah liat basah
juga bisa. Batu nisan dilumuri tanah liat, trus didiamkan selama 3 hari. Lalu
dibersihkan hingga bersih tanpa sisa. Cara itu bisa memperlambat kerusakan
nisan juga,” sambung Ibu Laila sambil
menunjuk batu nisan secara lebih rinci. Saya mengangguk, memahami jika cara
tradisional ternyata jauh lebih baik. Pendapat itu semakin dikuatkan oleh Ibu
Laila, “Bahkan menggunakan cairan kimia, membuat nisan akan lebih cepat
hancur..”
Nisan makam Aceh memiliki
kekhasan tersendiri. Selain ukirannya yang rumit. Dibeberapa bagian nisan juga
terukir ayat-ayat alquran, nama dan tahun meninggal, serta beberapa potongan
puisi sufi. Penyebaran batu nisan Aceh pun sampai ke Malaysia. Hal ini bermula
ketika Sultan Iskandar Tsani berkuasa. Ia menyuruh para tukang untuk
membubuhkan nisan berukir pada makam Ayahnya, Sultan Pahang. Hingga nisan itu
dibawa ke negeri Pahang dan terjadilah penyebaran.
Peradaban di kampung Pande zaman
dulu memang terkenal mahsyur. Selain sebagai pusat perdagangan zaman Kerajaan
Bandar Aceh Darussalam, kampung Pande juga termasuk dalam tiga tempat pemahat
terbaik batu nisan dan jerat makam (selain Deah Geulumpang, dan kawasan Cut
Meutia sekarang). Bahkan ada sebagian berpendapat nisan di kampung Pande jauh
lebih tua dari nisan di Pasai, yang menunjukkan penyebaran ajaran Islam telah
dimulai disini.
Pak Adian mengajak saya menuju
kearah rawa-rawa. Katanya, disana juga terdapat beberapa makam. Bahkan jika
saya beruntung, bisa menemukan pecahan keramik/gerabah pada masa perdagangan
dulu.
Dengan melewati jalan China khuk
yang bersebelah dengan makam Tuanku Di Kandang, saya dan rombongan menuju kearah rawa-rawa yang
ditumbuhi pohon-pohon nipah berukuran kecil. Tanggul-tanggul seukuran pinggang
membatasi badan jalan dengan rawa-rawa. Air laut sedang pasang. Dibeberapa
tempat tergenangi. Ada undakan tanah yang menyembul selebar pematang sawah.
Dari sana kami berjalan. Menyelusuri rawa-rawa dengan serakan sampah warga.
“Nah itu, ada makam!” tunjuk Pak
Adian kearah rimbunan nipah yang tergenang. Saya melongok, berusaha mencari.
Dan benar! Dibalik rimbun pohon dan didalam genangan air, dua batu nisan
terpancang segaris membentuk makam. Salah satu nisannya tampak tersungkur
hampir mencium tanah. Dari desain nisan yang bulat persegi dan sedikit ukiran
diatasnya, ditaksir jika itu makam salah satu ulama pada masa kerajaan. Miris,
makam seorang ulama bisa terbengkalai seperti itu.
“Susah untuk dapat memugar semua
makam yang berserak seperti ini. Plot dana tersedia kurang, sulit untuk memugar
semuanya. Terlebih ini didalam air, siapa yang bisa membendung lautan?”
Saya bergeming. Benar juga, tentu
membutuhkan dana yang tak sedikit untuk memugar
makam ini. Harus membangun semacam tanggul untuk menahan pasang air
laut. Dan di kampung Pande, makam yang tergerus air pasang bukan hanya satu,
tapi banyak. Dengan lokasi berbeda-beda.
“Saya menggunakan dana sendiri
ketika memugar makam-makam disana..” sahut Pak Adian merujuk ke komplek makam
Tuanku Di Kandang. Pak Adian termasuk dalam garis keturunan sultan kerajaan.
Tentu selaku ahli waris, ia punya tanggungjawab untuk menyelamatkan makam-makam
yang tersisa pasca tsunami 2004. Tak heran, pasca tsunami ia tergerak cepat
untuk merapikan makam.
Salah satu peserta rombongan
menemukan pecahan keramik diatas undakan tanah kami berpijak. Sontak kami
kaget. Menurut Ibu Laila, keramik yang bercorak biru pekat itu berasal dari
China. Dari berbagai Dinasti yang berkuasa seperti Dinasti Han, Ching, Sung,
Min, ”disana, kalian pasti lebih mudah lagi menemukan keramiknya,” ia menunjuk
kearah tambak yang bersebelahan dengan lautan, jaraknya sekitar 25 meter dari
tempat kami berdiri.
Saya dan rombongan lantas
bergerak kesana. Siang terik membuat beberapa anggota rombongan tak terjun ke
daerah tambak yang lebih jauh. Sebagian
memilih berteduh di teras rumah penduduk. Pak Adian dan Ibu Laila, mengajak
kami kearah tambak yang berdekatan dengan laut. Menuju kesana, saya harus
menapaki jalan setapak
sepanjang 300 meter. Jalannya kecil. Hanya mampu dilalui satu orang. Kanan-kiri
air menggenang tenang. Bau tambak menyeruak khas. Pak Adian berada dibarisan
depan sebagai penunjuk jalan. Selama perjalanan, mata saya jelalatan mencari sisa keramik masa kerajaan
Aceh dulu. Konon katanya, rawa-rawa yang kami lalui ini dulunya adalah daratan.
Letak geografisnya yang
strategis memungkinkan Aceh menjadi pintu masuk perlintasan laut dari barat ke
timur, atau pintu keluar dari timur ke barat. Lalulintas yang sibuk, menjadikan
kampung Pande jadi lintasan para pedagang dari multi etnis bangsa. Barteran antara komodi para pedagang China,
Arab, Eropa dengan komoditas hasil alam Aceh pun berlangsung dalam transaksi
ekonomi. Saudagar China, Eropa sering membawa komoditi perdagangan mereka
seperti keramik, sutra. Maka tak heran, keramik China-Eropa dengan mudah kami
temui.
Saya girang ketika menemukan pecahan keramik berwarna biru dari dalam tambak. Hal sama juga dialami para anggota lain. Pecahan keramik berbentuk mangkuk, gerabah kami temui dari tanah tambak yang basah. Menurut Ibu Laila, corak dan warna keramik menggambarkan muasal keramik tersebut. Warna biru pekat berasal dari China daratan. Warna biru pudar dengan dominasi putih berasal dari Eropa, sedangkan warna coklat dengan ukiran kasar dari kayu dipercaya berasal dari Burma. Ditaksir keramik-keramik ini sudah ada sejak abad keenam.
Keramik |
Awalnya saya sanksi. Bisa saja pecahan keramik ini berasal dari
rumah-rumah yang digerus tsunami akhir tahun 2004. Tapi Ibu Laila meyakini,
“Untuk melihat keaslian keramik ini dari masa dulu, bisa dilihat dari ketebalan
keramik dan suara lenting keramik ketika dipukul.”
Ibu Laila lantas menjentik jarinya ke pecahan keramik. Suara nyaring
terdengar. Lantas ia juga menunjukkan ketebalan keramik masa dulu yang lebih
tebal ketimbang masa sekarang.
Setelah melewati rimbunan pohon bakau, sebuah feri penumpang terlihat
melintas di kejauhan. Ternyata tempat kami lalui ini hampir berdekatan dengan
pelabuhan Ulee Lheue. Air laut menghempas perlahan. Riaknya terpecah di tepi-tepi
tambak. Aroma garam makin kentara. Panas semakin terik. Saya merapatkan jaket
dan menangkupnya di atas kepala.
Berhadapan dengan gundukkan tanah
yang penuh ilalang, kami berhenti diujung pematang. Disebelah kanan kami lautan
terbentang. Sedangkan dari jauh terlihat samar pelabuhan Ulee Lheue.
Pemberhentian ini awalnya membuat saya kebingungan. Tapi ketika teman-teman
berebutan memotret sesuatu dari dalam air dan turun hingga kaki mereka kebasahan,
saya tersadar, ada batu-batu nisan yang berserakan di dalam air! Timbul
tenggelam dihempas air laut hingga ukiran dan teksturnya mulai pudar. Pak Adian
mengaku, ia sering menitikkan airmata jika melihat ini semua. Melihat
makam-makam kuno yang mencatat sejarah gemilang Aceh dulu yang tak terurus.
“Saya punya rumah disini..”
ujarnya sambil menunjuk kearah kampung Pande, “saya berniat rumah itu ingin
saya jadikan museum. Ingin saya kumpulkan batu-batu nisan ini dalam satu
tempat, agar sejarahnya nggak hilang,” sambungnya dengan suara sendu.
Ada sekitar 5 batu nisan besar
yang tersembul dari dalam genangan air. Dengan bentuk beragam, seperti balok
persegi, bulat, dan pipih. Ditaksir nisan-nisan ini milik para ulama dan para
Meurah-Meugat (pemimpin). Saya tidak mengerti kenapa hal ini dibiarkan begitu
saja. Jika menyangkut dana, seharusnya pemerintah bisa melihat skala prioritas.
Dan ini menurut saya termasuk skala prioritas yang harus segera ditangani.
Miris, melihat orang-orang berjasa di masa silam dibiarkan seakan terbuang.
Pak Adian juga menjelaskan,
diujung sana, dibalik gundukkan tanah di tengah rawa juga terdapat situs bekas
mesjid, “kalo airnya nggak pasang, mungkin kita bisa kesana,” air pasang yang
meninggi mengharuskan kami mengurung niat untuk kesana.
Siang semakin panas. Saya semakin
merapatkan jaket diatas kepala. Tak ada pohon tinggi meneduhkan rawa-rawa ini.
Panasnya menusuk hingga ke ubun-ubun. Lantas kami memilih pergi. Menyusuri
kembali jalan setapak pematang rawa. Kembali bergabung dengan teman-teman yang
tadinya memilih berteduh di rumah warga. Perjalanan dilanjutkan ke pemakaman
lainnya. Kali ini kami menuju ke pemakaman Putroe Ijo yang letaknya di belakang
masjid kampung Pande.
Selama perjalanan saya masih
melirik-lirik kearah rawa-rawa yang dipenuhi pohon nipah dan hutan bakau. Saya
berdecak ketika untuk kesekian kalinya menemukan kembali batu-batu nisan dari
balik rimbun pepohonan disana. Sungguh, menemukan makam di kampung Pande sangat
mudah. Ada begitu banyak nisan makam bertebaran di kampung ini. Sama hal nya
ketika saya sampai di komplek Putroe Ijo.
Komplek makam Putroe Ijo |
Komplek makam ini tidak begitu
luas. Pagar besi melingkar membentuk persegi panjang. Didalamnya terdapat
belasan batu nisan berserakan. Sebagian patah menjadi beberapa bagian. Nisannya
pun berjamur hingga kehitaman. Sulit untuk melihat lebih dekat ukiran dan
teksturnya. Saya hanya singgah sebentar di komplek makam ini. Tidak ada
penjelasan rinci siapa Putroe Ijo itu. Tidak ada prasasti keterangan yang
menceritakan kisah singkatnya.
Saya melihat rombongan kearah
berbeda. Penasaran, saya mengikuti dari belakang. Ternyata, hanya berseberangan
jalan dan dipisah sebuah rumah, juga terdapat komplek makam kuno! Ketakjuban
saya bertambah. Banyak sekali makam-makam kuno di kampung Pande ini. Komplek makam
ini lumayan terawat. Walaupun letaknya sangat berhimpitan dengan teras dan
dapur rumah warga.
Makam yang saya kunjungi kali ini
adalah komplek makam Raja-Raja Pande. Sama seperti komplek makam Putroe Ijo,
makam Raja-Raja Pande ini juga tidak terlalu luas. Jumlah makam yang ditanda
dengan nisan juga tidak terlalu banyak. Corak nisannya sebagian hampir serupa,
walaupun beberapa diantaranya mulai terlihat kusam.
Corak nisan Aceh yang beragam dan
estetika yang indah tentu menjadi nilai tersendiri. Namun sayang, hingga kini
kita kesulitan mencari pemahat batu nisan. Tidak adanya tukang pahat, dan
minimnya permintaan mengakibatkan batu nisan Aceh perlahan melenyap.
Keindahannyapun memudar. Konflik berkepanjangan di Aceh pasca kemerdekaan,
ditaksir berperan menggerus sendi-sendi
budaya. Ketika konflik terjadi, hal-hal seperti ini tidak lagi terpikirkan
dalam kehidupan. Kemasyuran nisan Aceh pun lantas memudar.
“Jangankan mencari pemahat batu
nisan Aceh. Zaman sekarang, mencari pemahat kayu ukiran Aceh aja sulit,” Ujar
Ibu Laila yang diiyakan sebagian rombongan.
Sayup-sayup suara adzan dhuhur
terdengar dari masjid kampung Pande. Saya dan rombongan menyudahi perjalanan
menyusuri jejak makam kuno di kampung ini. Belajar akan bukti kegemilangan masa
kerajaan dulu. Berharap jika kembali suatu saat nanti, keadaan jauh lebih baik
dari sekarang. Setidaknya tidak ada lagi makam dan nisan yang tergenang atau
tergerus abrasi laut. Sebab untuk mencari pemahat batu saja kita kesulitan,
terlebih menggali makam kuno peninggalan sejarah. Maka tak salah, merawat yang
telah ada jauh lebih baik.
ternyata kain yang nutup nisan itu gunanya buat mencegah kerusakan toh.. baru tahu saya.
BalasHapusMillati batu nisannya mau dibungkus juga nnti? warna putih atau pake brokad? :>)
Hapusdlu waktu sekolah mapel favoritnya sejarah ya bg? :>)
BalasHapusrajin bgt nulis traveller story ke tempat-tempat bersejarah.
most of all, bravo bg ferhat! (h)
hehhehee.. Seru rasanya Isra, sharing catatan perjalanan. Soalnya yang namanya perjalanan bukan sekedar jalan-jalan atau belanja-belanja, pasti ada "sesuatu" yang menarik!
Hapusmantap sekali jelajah budaya, semoga ke depan jalan2 budaya ini bisa terus diminat pecinta wisata muda-mudi di Aceh untuk melihat sisi dekat situs2 sejarah :)
BalasHapusaminn :-(
Hapusowh.. kalo gitu pengen coba juga lah nulis catatan perjalanan :-d
BalasHapusminggu depan kosongin jadwal yaa. Abang udah hubungi arkeolognya. Minggu depan kita jelajah budaya..
Hapuskami udah pernah liputan kesana dulu . Mantap kali memang. Sayang yang makan raja-raja pande itu dilorong rumah orang. Terus ada kandang ayam lagi didepannya. Kasian sekali. Semoga suatu saat akan berubah lebih baik lagi ya :) tulisannya keren bang. :)
BalasHapusTerimakasih dek daraa..
HapusOrangnya ada keren?
(f)(f)(f)(f)
sayang sekali kalo sampai tidak terurus.. smoga menjadi perhatian dinas terkait. mantap tulisannya bg.
BalasHapusterimakasihh..
HapusLuar Biasa jelajahnya, kalo tambaknya mengering pasti lebih menarik ada wujud sisa bangunan...
BalasHapusboleh saya minta nomor pak adian bg?
BalasHapus