Wisata Danau Toba−Beberapa hari lalu, saya mengikuti TFT
(Training For Trainer) yang diadakan FLP Sumatera Utara. TFT semacam pelatihan
khusus trainer kepenulisan. Acaranya berlangsung selama lima hari. Beberapa
penulis ternama hadir sebagai pemateri; Gola Gong, Tere Liye, dan Boim Lebon.
Mewakili Aceh, saya hadir bersama Doni,
Fakhrie, Husna, Laras, Syuhada, dan Dara. Di hari terakhir pelatihan, kami
berkesempatan berwisata ke Danau Toba (Dantob). Bersyukur sekali, dengan isi
dompet pas-pasan bisa sampai ke Dantob.
Berangkat ke Dantob tengah malam buta,
sekitar jam setengah dua. Alasannya biar bisa kejar pagi di sana. Jarak perjalanan
Medan-Dantob sekitar enam jam. Perjalanan malam bikin saya langsung nyenyak di
minibus. Bangun-bangun, eh udah subuh.
Ini kali kedua saya ke Dantob. Dua tahun
lalu, sempat datang ke tempat yang paling banyak difotoin untuk post card ini.
Nggak banyak berubah. Kalau dulu nginap di hotel bintang lima yang paling elit di
sana, kali ini saya dengan teman-teman lebih banyak menghabiskan waktu di
pinggiran Danau Toba.
Merasa bangga bisa kembali kesini. Danau
Toba termasuk salah satu danau terbesar di dunia. Kalau di kawasan Asia
Tenggara, dia yang paling besar. Panjangnya aja sampai 100 km dengan lebar 30
km. Di tengahnya terdapat pulau vulkanik yang kerap disebut Pulau Samosir.
Dipinggiran danau, kami bisa melihat tulisan "Samosir" kayak tulisan
"Hollywood" di Mount Lee, Griffith Park. Tapi yang ini tersusun dari
pohon-pohon hijau. Ditengah bukit lagi! Kreatif!
Baru tiba, kerasa kalau di Dantob ini
ternyata dingiiinn sekali. Jaket keikat sampe leher tapi dinginnya tetap
kerasa. Persinggahan pertama kami sempat foto-foto dengan latar danau dengan
kuburan non muslim.
Memasuki kota, baru kerasa kalau disini
padatnya merayap. Rumah penduduk berdempet-dempetan. Belum lagi penginapan;
hotel, wisma, hostel yang bertumpuk-tumpuk nggak beraturan bikin kesan nggak
tertib. Belum lagi jalan sempit dan sedikit acak kadut. Agak heran, ini tempat
wisata bertaraf international tetapi kenapa kayak ngasal gini yak?!
Kalau masalah fasilitas Dantob lumayan
lengkap. Penginapan dengan kelas melati sampe bintangan ada disini. Tapi ya itu
tadi, berdempet-dempetan, bertubruk-tubrukan antar penginapan yang bikin kacau mata
kalau dilihat. Nggak ada space yang
bisa leyeh-leyeh. Semuanya berlomba-lomba bikin bangunan walaupun areanya udah
tinggal se-uprit. Belum lagi sampahnya ya ampuunnn. Baru kali ini lihat bak
sampah selebar gini. Dilempar kesana-kemari. Bungkusan mie instan paling
banyak. Heran pada kemana tukang sapu dengan tong sampah.
Kami sempat berputar-putar mencari lahan
parkir. Akhirnya minibus bisa berhenti di lahan kosong bersebelahan dengan
danau. Di ujung sana, Pulau Samosir berkelebat dari balik awan. Bukit-bukit
berjajar dengan pantulan matahari pagi. Wuiihh cakep!
Mencari sarapan pagi agak sedikit
kesulitan disini. Selama keliling-keliling sambil mampir di kios-kios souvenir,
saya cuma jumpai dua warung nasi muslim. Anjing berkeliaran dengan bermacam
ukuran badan. Sesekali menggong-gong bikin takut. Di puncak bukit akhirnya kami
memilih berkumpul. Tempatnya teduh. Pohon pinus menjulang tinggi. Tanjakannya
lumayan curam, bikin lutut gempor saat jalan. Tamannya rapi, seseorang pria tua
memotong rumput. Diatas bukit, sebuah rumah tua berdiri kokoh. Berarsitektur
Belanda dengan paduan putih-hitam. Teras utamanya menghadap danau toba. Nah,
itu rumah pengasingan Soekarno!
Saya baru tahu, kalau Soekarno sempat
mengasingkan diri di pinggiran Danau Toba. Nggak kebayang sewaktu dia
mengasingkan diri tempo dulu. Sekarang aja jalannya mulus tetap meliuk-liuk,
gimana tempo dulu, yak?
Kepingin tahu banyak, saya langsung menuju
ke atas. Melihat lebih dekat rumah tua itu. Seseorang wanita paruh baya keluar
dari sisi kiri rumah,
"Rumahnya nggak boleh masuk. Bapak
nggak ada..." ujar perempuan itu merujuk ke "bapak" pemilik
rumah.
Rupanya, rumah ini udah beralih fungsi.
Entah berubah menjadi apa. Kayaknya jadi tempat tinggal pribadi sekaligus
kantor. Entahlah nggak ngerti. Padahal kepingin tahu banyak, tapi sayang, nggak
ada prasasti yang menceritakan ringkas tentang rumah ini. Dari bapak yang nyapu
halaman saya akhirnya tahu kenapa rumah ini sulit diakses orang banyak, "nanti
barang-barang disana takut hilang kalau rame-rame (orang)..."
Yaellahhhh... segitunya.
Nggak tau ngapain. Kami turun menuju
pinggiran Danau Toba. Dan di sinilah bernorak-norak gembira dimulai. Alamnya
keren sekali! Airnya tenang. Yang bikin makin takjub, awan di Dantob keren
sekali bentuknya! Semburat-semburatnya bagus! Paduan gunung, air, dengan awan
yang keren bikin kami tergila-gila untuk foto. Padahal belum mandi dengan sarapan.
Masa bodo, yang penting gayaaaa...
Puas foto-foto kami berniat menyeberang ke
Pulau Samosir. Rasanya kurang afdhol kalo udah tiba di Dantob tapi nggak
nyebrang ke Pulau Samosir. Jaraknya pun nggak terlalu jauh. Kalau naik
speedboat mungkin kisaran 15 menit. Kami memilih naik feri. Bentuknya lebar.
Bisa menampung sekitar 60 orang. Karena perginya rombongan, kami sepakat untuk
sewa feri. Jarak tempuhnya sekitar 40 menit. Tapi berhubung kami keliling
melihat batu gantung yang melegenda itu, waktu tempuhnya pun lebih lama.
Penasaran, itu batu kok bisa ngegelantungan di bukit ya? (bersambung)
KLIK DI SINI untuk cerita selanjutnya
wah, ceritanya seru..
BalasHapuswaktu di TFT gimana?
seseru itu kah? 0_0
seperti itulah anak muda..
BalasHapus