Cut Bida idam ke krueng.
Sungguh berharap sekali serasa kakinya tak sabar untuk kesana. Bermain air bersama Rahmah dan Nyak Bit, menangkap ikan dengan jaring-jaring, bermain perahu, memericik air ke muka atau sekedar mencuci.
Tapi ketika niat itu ada, Mak selalu melarang dengan alasan; main di krueng bisa membuat perut kembung, digigit ular, atau sebagainya. Padahal dulu Mak yang selalu mengajaknya mencuci baju ke krueng. Kini semua anak pun dilarang ke krueng oleh orangtuanya.
Seingat Cut Bida sejak lama ia bermain-main di krueng. Walau jaraknya jauh bocah itu tetap ingin kesana. Tak peduli jika harus melewati sawah dan menerobos kebun-kebun. Baginya krueng adalah segala-galanya.
Kini ia hanya bisa bermain tali dirumah Nyak Bit. Benar-benar tak mengenakan. Mak-nya selalu marah jika kami berteriak. Bermain bola keong di rumah Rahmah juga seperti itu, tak boleh bersuara sebab ia baru punya adik baru. Terlebih jika bermain di tanah lapang, rasanya tak berani takut terkena peluru nyasar. Cerita Mak, kini kampung tak lagi aman.
Semuanya membuat Cut Bida bosan. Benar-benar tak menyenangkan bermain seperti ini. Ia sangat rindu ke krueng. Ingin bersegera berlari kesana. Namun ketika niat itu ada, lagi-lagi Mak-Ayah melarang.
Apalagi kini yang ia tahu Mak juga semakin jarang ke krueng. Untuk mencuci baju Mak lebih sering ke meunasah menimba air. Bukan Mak saja yang kini mencuci baju ke meunasah, Mak Rahmah juga seperti itu, Mak Nyak Bit juga. Semuanya ikut-ikutan Mak. Minggu pagi sumur meunasah ramainya minta ampun.
Cakap mereka serius hingga kadang-kadang terkejut. Cut Bida penasaran melihatnya. Ketika bocah laki bermain bola Cut Bida ikut menonton. Tak sengaja ia mendengar omongan Mak. Mereka menyinggung-nyinggung krueng. Katanya, krueng tak lagi nyaman.
Kening Cut Bida berkerut mendengarnya. Apa yang terjadi? Keingintahuan terbesit.
Keesokannya Cut Bida mengajak Rahmah dan Nyak Bit ke krueng. Awalnya mereka tak mau, takut jika ketahuan Ayah akan dimarahi. Cut Bida memaksa. Ia membujuk mereka dengan hal-hal indah tentang krueng. Terlebih telah lama mereka tak ke sana.
Rahmah dan Nyak Bit mengangguk. Setuju mereka ke krueng selepas pulang sekolah nanti. Tak perlu berganti seragam atau harus makan nasi dulu, mereka berlari menuju krueng diam-diam.
Dari jauh hanya gemericik air terdengar. Tak ada celoteh terlebih tawa. Begitu sepi. Baru kali ini Cut Bida bergidik ketika ke krueng, hal sama dirasakan kedua temannya. Penasaran makin kuat ketika bau menusuk hidung begitu dekat.
Tersontak mereka saat berjalan menepi. Seonggok badan tak berkepala terapung-apung di krueng. Sudut lain, tangan terlepas dari tungkai, kepala terputus dari badan turut menyembul.
Cut Bida, Rahmah, dan Nyak Bit tergugu. Darah seakan terhenti. Ketakutan besar membuat mereka berlari kencang. Tak ingin menoleh ke belakang, terasa dikejar. Sepanjang pulang mereka berteriak menyebut-nyebut mayat.
Cut Bida menelan kisah itu sendirian tak berani bercerita pada siapapun. Detak jantungnya bergerak tak biasa. Mengapa krueng menjadi tempat menakutkan sekarang. Kemana larinya ikan-ikan kecil yang mengalir di krueng? Kemana perahu-perahu kecil itu? Kemana semua hal-hal menyenangkan?
Tiap malam ia selalu berdoa agar tubuh-tubuh itu tak lagi mengapung di krueng. Pergi terbawa arus dan enggan kembali.
Seakan tak pernah terkabul, kampung semakin tak bersuara lepas itu. Tak lagi tawa canda menggema sore hari, tak ada lagi suara teungku Yahya mengajar iqra’, meunasah kosong, Mak pun semakin jarang mencuci ke meunasah. Rahmah dan Nyak Bit semakin jarang main ke rumah.
Semuanya hilang. Krueng semakin sepi, terkadang warga berbondong-bondong mengangkat tubuh dari krueng. Lalu membawa ke meunasah untuk disholatkan. Hal terus berulang-ulang sampai Cut Bida tak sanggup lagi menghitungnya.
Ia sadar wajah kampung tak lagi ramah. Ada saja yang berteriak setiap malam, memekik ketakutan. Suara senapan disahut suara bom seperti Cut Bida tonton di TV. Atau bunyi jejak langkah sepatu di tengah malam yang membuat Mak semakin erat memeluk tubuhnya.
Cut Bida sangat ketakutan sekarang. Ia selalu erat memeluk Mak. Sedetikpun tak ingin berpisah. Cut Bida tak ingin merasakan seperti Nyak Bit rasakan.
Tiga hari lalu selepas pulang sekolah, Cut Bida melihat Nyak Bit berguling-guling di pasir. Airmatanya keluar deras. Cut Bida melihat tak kuasa banyak.
Mak dan Ayahnya diseret paksa. Dimasukkan ke dalam mobil pick-up. Nyak Bit tak mengerti mengapa Mak dan Ayahnya dibawa pergi. Walau ia berteriak sekeras mungkin mereka tak mau melepaskan juga. Sekedar untuk mencium pun tak sempat.
Mak dan Ayahnya dibawa pergi entah kemana. Ia meraung semakin kuat sambil berguling-guling. Seragamnya kotor.
Ba’da itu baru warga kampung berani mendekat. Mak juga datang menenangkan Nyak Bit. Menyapu airmatanya. Ramai yang menangis ketika itu.
Hingga kini Mak dan Ayah Nyak Bit belum juga pulang, ia semakin kurus tak ingin makan. Sungguh kasihan tampangnya.
Melihat itu Cut Bida tak ingin berpaling sedetikpun dari Mak dan Ayah. Ia takut kehilangan mereka. Di luar semakin mencekam. Mesiu bersahutan menebar ketakutan. Lelaki tak boleh lagi berkeliaran di kampung. Dituduh macam-macam hingga ditendang tanpa ampun.
Mak suka menangis selepas salam. Ayah juga demikian, lirih ia selalu membaca yasiin. Sedangkan Cut Bida masih menerawang krueng.
Air mengalir berbenturan dengan batu besar.
Burung-burung kecil beterbangan, sesekali mematuk ke dalam air melepas dahaga.
Rumput hijau.
Ikan-ikan kecil bermunculan.
Kerikil yang jelas terlihat dari dasar krueng. Air jernih. Indah sekali.
Ingin sekali ia kesana. Tapi mengingat apa yang terjadi ia kembali menelan rasa.
***
Malam merangkak. Ketakutan menjelang.
Helaan nafas terdengar jelas dalam bumi yang sunyi. Terlebih ketika pintu digedor paksa. Bunyinya lantang. Cut Bida meringkuk ke tubuh Mak. Mata mereka beradu pandang.
Ayah menahan nafas. Memandang Mak dan Cut Bida seperti mengharap jawaban. Gedoran semakin kuat. Hentakan terdengar keras. Sumpah serapah memanggil-manggil nama Ayah. Tercekat kerongkongan mereka.
Perlahan mata Mak tergenang ketika Ayah menuju pintu. Ia turut berdiri juga lalu mengikuti Ayah. Cut Bida duduk termenung di kursi dengan hati berdebar.
Angin menyibak ketika pintu terbuka. Orang-orang berbedil besar berdiri angkuh menuding Ayah dengan hal-hal tak megah. Lalu mendorong hingga Ayah terjerembab.
Mak membela. Berusaha mengusir tapi mereka enggan pergi bahkan memukul Mak. Cut Bida menangis melihatnya. Seperti percikan api mereka membawa pergi Ayah begitu cepat. Mak berusaha mengejar. Cut Bida ikut serta dalam kebingungan. Apa yang terjadi?
Sejak malam itu Mak selalu murung. Sesekali menangis, tetangga berdatangan sekedar menghibur lantas pulang kembali. Rumah kian sunyi. Kini rasa rindu Cut Bida bertambah bukan hanya untuk bermain di krueng, tapi menunggu Ayah pulang.
Hari-hari berlalu hampir sama. Mesiu yang menyalak, bom meledak, suara ratapan. Cut Bida tak ubah dengan perasaannya. Kapan Ayah pulang?
Dan suara teriakan warga mengagetkan Mak dan Cut Bida suatu petang. Berbondong-bondong mereka menuju krueng. Mak berlarian. Selendang jatuh tak diperdulikan. Cut Bida turut serta ingin tahu apa yang terjadi.
Sesuatu melayang-layang di krueng. Bergerak kesana kemari dibawa arus. Semua menutup hidung karena bau. Beberapa orang turun ke krueng, menarik sosok itu ke pinggiran. Melihatnya Mak meraung-raung. Cut Bida berguling-guling, hal sama yang pernah dilakukan Nyak Bit.
Itu Ayah!
Dia tak lagi bergerak. Sekujur tubuhnya biru legam. Warga menggotongnya ke rumah, membalut dalam kafan dan mengiringi dalam tahlilan.
Lepas itu Cut Bida tetap hidup. Ia mengubur rindu hingga dalam. Tak lagi mengharap Ayah pulang. Dan enggan bermain di krueng. Baginya, krueng kini tak lagi menyenangkan.
Dimuat di majalah SABILI 2007
***
Krueng : Sungai
Meunasah : Mushalla
0 komentar:
Posting Komentar