Ini malam ganjil.
Sepuluh tahun yang lalu, di masa itu, aku dan kesembilan saudara terisak di kamar inap paviliun keumala Rumah Sakit Zainal Abidin. Kami berkumpul dengan kesiapan sempurna. Kesiapan akan
perginya Bapak pada malam hujan itu.
Saat itu tigabelas Ramadhan.
Sakit Bapak telah parah berbilang tahun lamanya; jantung, darah tinggi, kompilasi penyakit orang tua, hingga terakhir stroke yang menyerang tubuhnya hingga sulit bergerak. Bapak telah berulang kali masuk rumah sakit. Dan malam ini, kali kesekian ia masuk ke rumah sakit.
Ini jauh lebih riskan. Menjelang maghrib ia koma. Detak jantungnya melemah. Sesaat tersadar dan kembali tenggelam tanpa sadar. Kami mengasihi Bapak kala itu, bergantian menjaganya. Pada masa itu, aku bersyukur, mungkin ini jalan Tuhan yang menyatukan kami dalam sepuluh saudara kandung. Setidaknya kami bisa membagi waktu menunggu Bapak di rumah sakit.
Bapak lahir di tahun 1942. Ia hanya pegawai biasa di dinas pendidikan. Ia termasuk loyal terhadap kami, anak-anaknya. Ia tahu cara terbaik membahagiakan kami dan membuat tersenyum kesenangan. Ia adalah teman terbaik dalam perjalanan.
Dulu, ketika aku kecil. Aku lebih memilih Bapak ketimbang Ibu untuk pergi jalan-jalan ke pasar Aceh. Bapak tak banyak aturan. Itu kutafsir dari pandangan kecilku. Ia akan loyal dengan permintaanku; gulali warna-warni, snack dengan berbagai rasa, es cream, coklat, atau minuman segar. Dan ia memenuhi permintaan itu jika kantong sakunya berlebihan.
Ibu? Ia seorang guru di Sekolah Dasar, ia jauh lebih selektif dengan jajanan pasar. Ia tak suka penyedap rasa atau makanan warna-warni. Baginya itu sumber penyakit yang menggerogoti tubuh perlahan. Aku kecil tak sepakat itu. Bagiku segala bentuk jajanan pasar itu menggiurkan. Maka itu, aku lebih memilih Bapak sebagai teman untuk bepergian.
Bapak juga yang mengajariku mencintai buku. Ia tak pernah memaksa kami membaca buku. Ia memberi contoh di rumah kami. Kegilaan membacanya membuat buku-buku memenuhi lemari-lemari rumah. Sesekali, sepulang dari kantor ia membawa buku cerita untuk kami, anak-anaknya. Dengan buku ia sedikit cerewet. Tak bisa membuat kami bebas. Peraturannya ketat; buku tak boleh robek, tak boleh dilipat, tak boleh berserakan selepas membaca, harus diletakkan dengan baik di dalam lemari. Aku kecil memahami itu sebagai kejengkelan. Namun kini aku mengerti, saat koleksi bukuku diobrak-abrik keponakan atau hilang tak juntrungan, aku merasa seperti Bapak pada masa lalu. Cerewet.
Bapak adalah lelaki sempurna di rumah kami. Ia bekerja. Namun tak mengurung ia membantu Ibu di rumah. Bapak tak segan turun ke pasar. Membeli segala kebutuhan rumah. Keluar masuk pasar Peunayong dan Pasar Aceh. Berbelanja segala kebutuhan rumah dan kesepuluh anak-anaknya. Bahkan suatu ketika, ia pulang dengan baju lembab beraroma amis. Ketika Ibu tanya kenapa, “tadi kena siraman rendaman air ikan di pasar,” ujarnya.
Hingga suatu ketika di penghujung tahun 1999, bapak terserang stroke ringan. Saat itu ia baru saja pulang mengambil gaji pensiunnya. Tiba-tiba saja tubuh kirinya kesulitan bergerak. Kaku. Tubuhnya lunglai seketika. Kami yang saat itu tak mengerti apa-apa berkumpul di rumah. Menyaksikan Bapak yang tiba-tiba tergeletak tak berdaya dalam hitungan jam. Lekas dibopong ke rumah sakit.
Ia seperti tak ingin kalah dengan stroke yang menyerangnya tiba-tiba. Selama di bangsal, Bapak menggenggam hingga lumat buah jeruk purut yang bertekstur kasar. Melatih kepekaan kembali jari-jari tangannya yang sempat kaku. Sepanjang pagi, ia mengangkat kakinya pelan-pelan. Melatih lututnya yang sempat tertahan. Maka disana, aku melihat Bapak sebagai sosok yang tak ingin kalah.
Ia berhasil melawan stroke pertamanya. Dokter berketurunan China yang merawat Bapak menaruh bangga dengan upaya-upaya dilakukannya. Untuk kali ini, stroke kecil itu berhasil dikalahkannya. ia kembali bergerak, hanya butuh terapi.
Hingga minggu-minggu selanjutnya, secara bergantian kami mengantar Bapak ke fisioterapi. Menumpang becak. Melihat ia tertatih-tatih berjalan selayak balita. Memainkan jari-jarinya dengan bandul-bandul kecil hingga ia mampu menggenggam kembali.
Aku pernah mendengar. Jika seseorang terserang stroke dan sedikit merasa pulih, lambat laun penyakit itu kembali datang dengan frekuensi setingkat lebih tinggi. Aku tak paham anggapan itu. Namun, melihat Bapak aku seperti mengiyakan pernyataan itu.
Februari tahun 2000, stroke kembali datang menyergap Bapak. Jantung dan darah tinggi yang diidapnya lama seperti pengundang yang paling ampuh. Kali ini stroke menyerang kerongkongannya. Lendir penuh memenuhi kerongkongannya hingga ia sulit berujar-ujar. Untuk minum makan, itu sangat menyiksa Bapak. Air seakan tak tertampung baik di kerongkongan dan tak menebas rasa hausnya. Ia lebih banyak memuntahkannya. Mengunyah makanan ia pun kesulitan. Tumpah ruah kembali muntah. Hanya sedikit yang mampu ia telan dengan baik. Bahkan pernah selang panjang dimasukkan dari celah hidungnya sebagai pengganti saluran makanan. Dari sana, nasi halus dan minuman disuntik perlahan-perlahan. Bapak terlalu tangguh dengan deritanya. Tak sekalipun ia mengeluh.
Kondisi ini membuat Bapak terus melemah. Tubuh besar jangkungnya beringsut perlahan-lahan. Bobotnya turun drastis. Gerakannya juga semakin melambat. Sesekali lendir kental mengucur dari mulutnya tanpa ia sadari. Bapak semakin parah.
Segala upaya terus dilakukan. Dari tradisional hingga menyedot lendir dengan bantuan medis. Tapi itu hanya mampu bertahan sejenak. Lendir-lendir kembali memenuhi kerongkongan Bapak. Disaat itu, mendengar suara Bapak adalah kelangkaan bagi kami. Bapak sering bertepuk-tepuk tangan tanda memanggil anak-anaknya. Menggerak-gerakan tangan jika ia kehausan, dan memberi isyarat-isyarat jika ia menginginkan sesuatu.
Sesekali ia menangis. Tangisnya semakin deras jika selepas shalat.
Ibu memilih vakum sejenak dari aktivitas mengajarnya. Ia menyerahkan waktu hidupnya merawat Bapak. Dan Bapak semakin tak berdaya. Segala kebutuhan hajatnya harus ditopang oleh kami. Bergiliran, kami memandikannya setiap pagi dan sore hari. Menuntaskan segala kebutuhan pribadinya.
Aku ditunjuk Ibu untuk menemani tidur Bapak. Di kamar depan, aku tidur bersama Bapak dan Ibu. Keputusan ini diambil jika hal terburuk terjadi di malam hari. Dan aku menjadi perantara membangunkan orang-orang rumah. Kejadian seperti ini sering terjadi di tengah-tengah malam. Bapak yang tiba-tiba drop, Bapak yang membutuhkan air hangat, atau kerap gempa yang datang tiba-tiba dan kami bersegera menggotongnya keluar rumah.
Bapak tak pernah mengeluh. Itu yang kami rasakan. Ia jarang mengeluh dengan apa yang ia alami. Dia penyabar dalam sakitnya. Hal baik yang terus kami ingat hingga kini.
Dan pada suatu pagi, ketidaksempurnaan ini seakan menjadi lengkap bagi Bapak. Disaat kami sibuk dengan aktivitas pagi, dan Ibu sibuk menyiapkan wisuda sarjana abangku. Tiba-tiba Bapak perlahan bangkit dari kursi rotannya. Lutut itu tak lagi kuat. Jalannya sempoyongan. Tak ada yang memapah dia pagi itu. Tak ada penyangga yang menopang tubuhnya. Dan semenit kemudian, disaat kakinya menapak dua langkah, tubuhnya sempoyangan.
Dan...
BRUKK!!!
Bapak ambruk!Terjerembab.
Lebam besar menganga di pahanya pertanda dentuman tubuhnya yang kuat. Sendi lututnya bergeser. Mulai saat itu, ia tak mampu lagi berdiri terlebih bertatih. Bapak meringkuk dikasur. Untuk bergerak beberapa langkah kedepan, ia hanya mampu beringsut. Ia hanya mampu berbaring.
Saat itu malam ganjil. Sepuluh tahun lalu di tigabelas Ramadhan. Entah untuk kesekian kali, Bapak kembali dirawat inap. Kali ini lebih parah. Ia drop. Hal terburuk telah aku duga dengan ketidaksanggupan daya pikirku. Saat itu aku masih duduk di bangku kelas dua SMA.
Nafasnya tersengal-sengal sejak siang tadi. Sesekali kelopak matanya bergerak-gerak seakan-akan ingin memastikan siapa saja yang berada disekitarnya. Tubuhnya semakin ringkih. Hidungnya sedikit lancip tak biasanya. Hal yang terus aku syukuri hingga kini adalah, aku sempat menuntunnya mengerjakan shalat ashar. Membisiknya doa-doa shalat ditelinganya. Aku berharap Tuhan menerima shalat terakhir Bapak.
Menjelang maghrib, kami hanya mampu menatap Bapak dengan jantung berdetak namun tubuh tak bergerak. Bapak koma...
Di luar hujan berdera-dera. Lebat deras malam itu. Aku masih ingat, disepanjang koridor rumah sakit abang tertuaku berbisik, kalau hal terburuk akan terjadi. Aku menangis tersedu-sedu sepanjang koridor mengetahui itu. Aku diutus pulang. Menyampaikan kabar ini ke saudara lainnya yang berada di rumah, sekaligus membersihkan rumah agar telihat lapang agar orang-orang mudah berdoa keesokan paginya.
Menjelang pukul dua dini hari. Aku mendapat kabar Bapak dalam kondisi terberat. Ia tersadar dari koma dengan nafas semakin tak beraturan. Berhamburan kami menuju rumah sakit yang tak jauh dari rumah. Di luar angin hujan semakin menggila, seakan tahu ada duka malam itu.
Di ruang bangsal, kesepuluh anaknya berkumpul. Masing-masing dengan tangis mendalam. Aku sadar, beginilah rupanya kita melepasnya seseorang yang dalam kita cintai. Jika bisa berandai, tentu aku ingin menahan malaikat pencabut nyawa dan menunda eksekusinya malam itu.
Bapak melemah. Dalam isyaratnya ia bertanya, “Ibu dimana??”
Ibu mendekat, ia berdiri di sudut bangsal Bapak. Saudara-saudara berkumpul malam itu. Sebagian membaca surah Yasiin. Bergiliran kami membisik kalimat tauhid di telinga Bapak. Bergantian dengan isak. Mulut Bapak bergerak, kurasa ia mengikuti bisikan kami. Tak tahu rasa apa malam itu. serasa ganjil. Ibu menguatkan kami anak-anaknya. Kakakku, sebagian pingsan.
Hujan diluar mereda. Tepat pukul 01:30 WIB di paviliun Keumala nomor 7, Bapak menutup mata dengan tenang. Disaat nafas terakhirnya, ia sempat berpaling melihat anak-anaknya sesenggukan. Air matanya keluar. Hingga matanya menutup rapat, airmata itu masih ada.
Saat itu sepuluh tahun lalu hijriah, tigabelas ramadhan tepat 18 november 2002. Bapak pergi menjelang sahur. Malaikat menjemputnya dengan baik di bulan sempurna. Untuk kali pertamanya aku menumpang mobil jenazah membawa pulang Bapak. Untuk pertamakalinya di rumah kami orang-orang datang melayat dengan riuh yasiin. Untuk pertamakalinya, aku menggenggam tubuh kaku Bapak memandikannya di ruang belakang. Dan untuk terakhirkalinya, aku mencium Bapak disudut-sudut wajahnya sebelum dikafankan. Ibu menguatkan, “Kajeut bek moe lee, cukup jangan nangis lagi..”
Ia sudah tak ada sejak sepuluh tahun lalu. Malam ini genap akan hari itu. Bapak pergi dengan cerita tak biasa. Ia tak sempat melihat anak-anaknya tubuh berkembang. Dan bermain dengan cucu-cucunya yang hampir berjumlah 12 orang.
Untuk Rabbi, tolong peluk Bapakku lebih erat dalam surgaMu!
13 Ramadhan 1433 H
2 Agsutus 2012
Amiiin ya Rabb
BalasHapusMelelehlah mata saya membaca ini,ga bisa bayangin kalo saya yang ada diposisi bgferhat.
T.T nangis kami bang.
BalasHapusIngat dulu kakek dirumah sakit. T.T
Ya Allah tuhan.
terimaksih udah mampir nurul.
Hapusheheh
Postingannya sedih hiksss...hikss...tetap semangat !
BalasHapusterimakasih mb titis..
Hapusamin...
BalasHapussedihh T_T
BalasHapusmengingatkanku pada 2 tahun yang lalu, hari ke-3 hari tasyrik 2011, Allah lebih sayang dengan ayah kita ya bang, shingga memanggilnya lebih dulu. allahummaghfirlahu warhamhu wa afihi wa fuanhu...
BalasHapusamin ya Rabb...
Hapusngak nyangka...
BalasHapusternyata kisah aslinya seperti ini....
Ini yg d posting d kompas dlu ya bg?
BalasHapusNggak ada Rul.. cm posting di blog ini
Hapus