Adalah Bu Baedah yang
memberi tugas menulis cerita tentang keluarga, sebab itu Cut Ida resah
dibuatnya.Teman-teman ramai bersorak sila menyobek kertas di halaman belakang
buku, menulis nama di pojok atas,duduk termenung sambil memikir.
Sebagian juga
langsung menulis terilham cepat. Cut Ida pandang Fatimah menulis saksama, ketika
Cut Ida tanya apa yang ia tulis.Ia bilang sedang menulis tentang Mak.Maknya
penjual kangkung di kota. Juga Cut Ida tanya sama Ramli, ia anak paling nakal
di kelas Cut Ida.
Bajunya tak pernah
bersih ada saja diperbuat sewaktu jam main-main. Ramli menulis tentang ayahnya
penarik becak. Siti lain lagi. Ia menulis tentang Mak dan Ayahnya sekaligus.
Sungguh mudah hati mereka bercerita. Sesekali bergantian membaca, ada yang
terkikik seperti kuntilanak ketika membaca cerita.
Ada yang mengejek
sambil berkata, tulisan kamu jelek. Kelas riuh sekali. Bu Baedah diam dan
senyum-senyum saja. Tepuk Siti membuat Cut Ida terkejut lalu. Ia tanya, cerita
apa yang kamu tulis? Cut Ida diam kala itu. Siti menarik kertas dan melihatnya,
”Cut Ida belum menulis?” Bocah berkepang dua itu menggeleng malu.
Kejap pintas Siti
berpindah pergi sila berbisik ke teman-teman lain. Cut Ida dibuat malu olehnya.
Cut Ida merasa sulit bercerita. Tak tahu menulis tentang siapa, tentang Mak?
Ayah? Dek Bit? Semuanya tak menarik. Cut Ida hanya bisa diam di pojok kelas
menunggu bel pulang berdering.Jika siang diberi tugas lalu tak siap, biasanya
menjadi PR.
Nyata benar
pikirannya, saat bel pulang berbunyi ramai tak bersiap tugas. Bu Baedah
menyuruh mereka mengumpul tugas esok pagi. Sesaat lega batin Cut Ida, namun
sekejap pula pusing itu datang lagi. Tiba di rumah ia tak bisa memikir sebab
Mak dan Ayah kerap ribut.Ada saja dilempar ketika marah.
Kemarin Mak melempar
gelas ke dinding. Bunyinya teramat keras hingga berdengung telinga. Dek Bit
seperti biasa memeluk Cut Ida kuat. Tubuhnya yang besar tak kuasa Cut Ida
menggendong lama. Ia menangis keras lepas itu,mereka berdua lantas hanya
meringkuk lama di kamar. Mak dan Ayah masih bertengkar.
Kata Ayah, Mak
perempuan lacur. Kata yang tak pernah tahu maknanya oleh Cut Ida.Berulang-ulang
Ayah memekik itu, berkali-kali pula Mak kalap. Cut Ida hanya bisa menutup
telinga Dek Bit hingga bocah kecil itu tak mampu mendengar. Suara piring pecah
menyilang dalam tengkaran Mak Ayah.
Cut Ida dan Dek Bit
semakin takut ketika mendengar suara Mak meraung kesakitan, sepertinya Ayah
menampar ulang Mak. Saban hari mereka ribut.Kerap Cut Ida malu dengan
teman-teman. Mereka sering mengejek Cut Ida jika main di tanah lapang.
“Mak dan Ayah, karue saja!”
Berulang- ulang mereka bercakap
seperti itu hingga panas telinga ini.
Cut Ida membaringkan
Dek Bit di kasur. Kalau sudah seperti ini Dek Bit enggan tidur bersama Mak
Ayah. Ia lebih memilih tidur dengan Cut Ida di kamar belakang.Dek Bit masih
terlalu kecil,ia belum bisa berjalan.Masih merangkak sambil berceloteh tak
jelas. Selepas membaringkan Dek Bit, Cut Ida mengambil buku dan pensil lantas
duduk rapi di depan meja belajar.
Ingatan Cut Ida
kembali ke tugas Bu Baedah.Menulis tentang keluarga. Namun sepanjang ia duduk,
Cut Ida masih galau harus menulis tentang siapa. Cut Ida tak tertarik
menceritakan Dek Bit yang masih terlalu dini. Tingkahnya hampir sama dengan
yang lainnya. Jika Cut Ida menulis tentang Dek Bit, pasti teman-teman mengira
Cut Ida menyontek.
Di kelasnya ada
sekitar lima anak yang punya adik baru. Mungkin pula mereka menulis cerita
sama. Cut Ida tak suka dibilang menyontek, terlebih jika Mala mengejeknya.
Suaranya yang besar bisa terdengar semua anak di sekolah.Untuk itu, Cut Ida
memilih enggan menceritakan Dek Bit.
Cut Ida ingin sekali
menceritakan Nek Balah. Nenek tua penjual sayur di keudee Bang Bulah. Kulitnya
keriput, rambutnya putih semua, jika berjalan harus memegang tongkat. Tapi ia
masih kuat. Menarik jika Cut Ida menceritakannya. Tapi apa Bu Baedah mau terima
karangan Cut Ida? Sebab Nek Balah bukan neneknya? Cut Ida semakin pusing. Dek
Bit sudah terlelap.
Suara tengkaran Mak
dan Ayah sesekali terdengar namun tak terlalu keras lagi. Walau seperti itu Cut
Ida masih sukar menulis cerita. Apa ia harus menulis tentang amarah Mak dan
Ayah saban malam? Piring dan gelas yang pecah? Makian? Marahan? Itu tak menarik
baginya.
Cut Ida tak ingin
nanti teman-teman menertawai. Mereka tak punya Mak dan Ayah yang selalu
bertengkar.Mereka semua pasti menceritakan tentang Mak yang baik hati, selalu
mengajar mereka mengaji, membeli makanan, tak pernah keluar rumah malam hari, tak
pernah memaki, yang selalu mencium kening anaknya jika ingin pergi.
Begitu juga dengan
Ayah mereka yang selalu memberi uang jajan yang banyak, tak pernah menampar
Mak, mengantar ke sekolah. Pasti temanteman kelas menceritakan hal-hal seperti
itu. Cut Ida tak ingin beda seorang diri. Buku itu masih kosong, belum ada
garisan pensil.
Cut Ida masih galau
menulis apa. Ingin sekali bercerita bohong tentang Mak dan Ayah, tapi baginya
itu sama saja sebab temanteman Cut Ida banyak tahu perkara Mak dan Ayah. Di
luar Mak dan Ayah ribut lagi. Cut Ida menutup kedua telinganya berusaha tak
mendengar. Diliriknya jam menjelang pukul 23.00 WIB.
Cut Ida ingin
semuanya membaik segera. Doa kerap dipinta dalam ujung salat. Ia ingin sekali
punya Mak seperti Mak Fatimah yang selalu mengantar Fatimah pulang, ingin punya
Ayah seperti Ayah Ramli yang selalu memberi jajan yang banyak. Perasaannya
menggebu-gebu menginginkan itu.
Cut Ida tak punya
saudara dekat, kedua nenek-kakeknya telah meninggal, ia hanya punya Dek Bit
yang tak mampu menampung kesedihannya. Kerap tak kuasa membendung tangis, ia
membariskan seluruh keinginannya; ingin melihat Mak dan Ayah tak saling
memukul, ingin tak ada lagi makian, tak ingin lagi mendengar piring gelas
pecah.
Ingin Dek Bit tidur
kembali dengan Mak sebab selama ini Cut Ida kesempitan di atas kasur. Tak mau
lagi mendengar tanya tetangga, ”Pakeun Mak ngon Ayah kah,Cut Ida?” Ia ingin
semua itu hilang dari hidup dan pergi sejauh mungkin. Hingga tersadar lalu
pintas buku Cut Ida telah berbaris sekelumit kisah.
Lepas itu lega batinnya
mengetahui tugas Bu Baedah telah selesai. Walau sadar karangannya tak akan sama
dengan yang lain. Ia tersenyum kecut ketika hendak menutup buku, namun seraut
kemudian tengkaran Mak dan Ayah terdengar semakin hebat.Mak memekik, Ayah
berkata-kata keras.
Entah barang apa lagi
yang dilempar. Bunyinya sangat gaduh.Suara gesekan dan hentakan kaki saling
menyilang dengan gedoran pintu. Sesekali suaranya lenyap sulit ditangkap Cut
Ida. Cut Ida semakin risau, perlahan ia menuju pintu dan mengintip lewat celah
sempit dari pintu terkuak sengaja.
Mak menangis kuat
hingga terisak tubuhnya. Raut Ayah murka. Berulang-ulang mengatai Mak lacur
sira berkacak pinggang. Mak berontak berlalu ke kamar dari hadapan Ayah.
Gedoran pintu dipukul kuat. Sejenak Cut Ida melirik Dek Bit bersiaga jika ia
terbangun. Ketika memastikan Dek Bit masih terlelap Cut Ida kembali menyimak
tengkaran Mak Ayah.
Batinnya nelangsa,
apa Allah tak mendengar doanya dalam sujud salat? Kali ini dadanya tersentak.
Dalam sembab mata Mak keluar dari kamar dengan membawa tas besar. Jaket tebal
dierat rapat. Beberapa tas kecil dijinjingnya. ”Mak ke mana?” keluar bocah itu
dari kamar. Suaranya bernada parau menahan tangis.
Mak memeluk Cut Ida
erat. Tubuh mereka berdua berguncang hebat.
“Mak pergi sebentar saja, Cut Ida
dengan Ayah ya? Mak sayang…”
“Istri tak tau di untung! Mau
pergi ke mana kamu, ngeh! Mau ke mana?!!” Ayah mengcengkram dagu Mak. Cut Ida
mundur beberapa langkah ketakutan. Tangisnya kini membuncah.
”Peu urusan kah!!” sahut
Mak keras sambil melepas cengkeraman itu dan berlalu mengambil tas besar.
Jalannya tergopoh-gopoh. Lalu
membuka pintu dan larut dalam kegelapan. Mereka tak sempat beradu pandang. Mak
juga tak mencium kening Cut Ida.Bergegas dikejarnya ke pintu depan, hanya malam
menyambut Cut Ida.Mak tak ada lagi di luar sana.
* * *
Pagi ini Bu Baedah masuk tepat
waktu.Teman-teman kelas Cut Ida telah siap dengan karangannya masingmasing.
Mereka bertukar gurau di bangku belakang. Cut Ida diam saja, hanya sembab mata
pertanda ia menangis keras semalam. ”Ya, sekarang seperti janji kita
kemarin,kumpul tugas mengarang…” ujar Bu Baedah di depan kelas. Bergegas
suasana berubah gaduh.
Bunyi meja dan kursi
digeser berpadu dengan teriakan teman-teman sekelas. Cut Ida membuka tas dan
mengambil secarik kertas berisi ceritanya. Sejenak ia membaca ulang. Dadanya
sesak tak karuan, tangisnya ingin pecah ketika membaca karangan itu.
Diyakini keinginannya
tak akan terwujud. Mak pergi dan belum pulang hingga pagi ini. Hingga kejap
kemudian ia dirasuk penyesalan. Jika tahu seperti ini alangkah baiknya menulis
tentang Dek Bit saja.
”Ayo, siapa lagi yang belum
kumpul? Ayo, cepat! Cepat!”(*)
Dimuat di Seputar Indonesia, 2009
waah..inii cerpen yang saya baca berulang-ulang pas pertama beli Rumah Matahari Terbit....
BalasHapuswahhh.. makasih banyak Fani..
Hapus