BERTEMU ALIMUDDIN
Selepas isya kemarin, aku bertemu Alimuddin. Teman karib semenjak zaman kuliah dulu. Ali kini menjadi pengajar di salah satu sekolah swasta terkemuka di Bireuen. Semenjak kepindahannya di Bireuen, otomatis intensitas pertemuan kami semakin jarang.
Malam itu Ali bertandang ke Banda Aceh. Ia membawa beberapa siswanya untuk mengikuti lomba olimpiade. Jika kerap ke Banda Aceh, ia akan selalu memberi kabar. Jauh-jauh hari sebelum ketibaannya. Ajakannya tetap sama; bertemu.
Bertemu dan bertukar kabar. Dua hal yang sering kami lakoni sejak zaman kampus dulu. Ali sebenarnya abang letting beda jurusan. Entah ditahun kapan, aku tak lagi menyematkan “bang” dipanggilannya. Bagiku tak lagi menyebut sapaan panggilan adalah sebuah level pertemanan yang semakin erat. Selayak aku tak lagi menyebut “kak” pada Fardeline Hacky, teman karibku di Thailand yang telah memiliki seorang putra.
Ali memilih jurusan akutansi walau kurasa ia tak cocok berpenampilan layaknya akuntan. Dan aku di manajemen. Kami sering bertemu di masjid kampus. Turut aktif di UP3AI. Menghandle ratusan santri untuk mampu mengaji setiap periodenya. Dan kesukaan kami dalam menulis, membuat kami seirama dalam berpikir dan bermimpi.
Jika bertemu hal yang teramat dilakukan adalah menceritakan kembali masa-masa dulu; aktif di UP3AI, menjadi tim sukses di pemira, pulang larut malam menyusun strategi kemenangan, halaqah, menulis, aktif di FLP, berjalan kaki sebab tak punya kendaraan, mampir di kios-kios koran menumpang baca, cek email di warnet menunggu kabar kemenangan lomba menulis, hingga mengikuti test PNS di Langsa. Mengenang kesemua itu menyenangkan. Terlebih jika kami mampir di salah satu masjid dan melihat lingkaran kecil manusia di sudut masjid. Teringat saat-saat halaqah dulu.
Jika ia di Banda Aceh, aku berusaha menyempatkan diri bertemu. Tak sempat pagi, malampun jadi. Bertemu sebelum ia kembali ke Bireuen.
Terkadang biar semakin ramai kami sering mengajak yang lainnya; Ariel dan Heri menjadi alternative pilihan. Kekonyolan dan kesenangan kami dalam tertawa seakan saling menyatu. Ariel Kahhari presenter TV nasional dan Heri Tamliqa bocah kecil yang mengklaim diri aktifis.
Walau terkesan sedikit narsis, aku yakin Ali merasa nyaman bersahabat denganku. Begitu juga sebaliknya. Setidaknya hal-hal remeh temeh yang kurasa tak pentingpun sering diceritanya. Ia kerap mengirim sms. Mengirim segala cerita dari Bireuen. Terkadang isinya hanya mengabarkan hal remeh temeh, tapi terkadang mengungkapkan keseriusannya; kesendiriannya di Bireuen. Kesendirian tanpa komunitas yang mumpuni, serta kesendirian dalam
menunggu jodoh. Kasihan Ali.
Namun terkadang pikiran-pikiran serius itu hilang. Tak lagi ditanggapi terlalu dalam. Jiwa mahasiswa Ali terasa masih lekat. Bebas. Bahkan terkesan masa’ bodo.
Yup! Ali termasuk barisan teman-temanku yang cuek. Cueknya kadang berlebihan. Santai dengan pikirannya sendiri. Enjoy dengan apa yang dihadapinya. Itu Ali sekali!
Ketidakseriusan Ali-lah yang membuat bersahabat dengannya menyenangkan. Jika ditanya mengapa? Jujur aku pun tak paham. Padahal tak ada hal-hal istimewa yang kerap kami lakukan seperti pertemanan orang lain. Kami jarang mengucapkan selamat ulang tahun, kalo pun ada kerap dipenghujung penggantian tanggal. Jarangpun mengirim ucapan lebaran.
Traktir makan?? Lebih-lebih, keseringan patungan atau bayar masing-masing. Beli hadiah sebagai kenang-kenangan layaknya di film2? Itu jauh tak pernah dilakukan. Jika menginginkan sesuatu, silahkan merogoh kantong sendiri jangan harap ditawarkan. Itu terjadi tanpa disepakati. Dan kami seakan-akan menyetujui tanpa ada yang tersakiti.
Dugaanku, taraf pertemanan kami sudah setingkat dewa; bukan lagi dilevel membagi namun sudah saling memahami.
Kemarin malam selepas makan, kami menyempatkan singgah di beberapa toko buku. Kegiatan murah meriah yang kerap kami lakukan sejak dari dulu. Sekedar cuci mata dan terkadang berkhayal buku kami ada disana. Yup! Memiliki buku bersama adalah cita-cita luhur kami. Setidaknya sebelum kami memiliki istri, dan sibuk dengan anak-anak. Jika sudah berkeluarga, aku pastikan disms Ali mengajak untuk bertemu tak kuhiraukan lagi. Mungkin dimasa itu, saatnya Ali dijadikan kenangan.. Hahhahaa…
aku mengutip sebuah puisi singkat Alimuddin di status facebooknya
Kamar dan ruang persahabatan. Akan menjaga hati yang berangin…
Mari tersenyum di rumah ikan. Lalu kembali di ayunan bumi.
Temani daun, temani akar mengaji huruf-huruf suci
:alif, ba, tsa
(Akan dua tahun di sini.. Tapi Bireuen belum bisa berikan satu sahabat yang bisa dipercaya…)
hiks, mengharukan #buangingus
BalasHapusBang Ferhat dan Bang Ali memang jodoh tak terpisahkan
hiks!!
BalasHapussengkiyu udah mampir kemari ya Ade..
sering2 yaa, biar google bisa pasang iklan.